konservasi sumberdaya alam

STRATEGI KONSERVASI GAJAH SUMATERA ( E. maximus sumatranus)

A.  PENDAHULUAN

Menyelaraskan konsep pembangunan nasional dengan konservasi keanekaragaman hayati merupakan upaya yang tidak mudah dan kompleks sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan pertimbangan yang menyeluruh dan melibatkan multi pihak. Pembangunan di satu sisi merupakan upaya penting yang harus terus dilakukan secara terus menerus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi nasional. Di sisi lain pembangunan hendaknya tetap memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan ekosistem sehingga dicapai pembangunan yang berkesinambungan dan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya.

Secara umum pembangunan ekonomi memerlukan ruang untuk infrastruktur khususnya lahan terutama untuk industri, pertanian, pertambangan dan pemukiman. Saat ini ruang untuk pembangunan tersebut sebagian besar atau seluruhnya diperoleh dengan mengkonversi kawasan hutan di dataran rendah baik yang relatif utuh maupun yang sudah terdegradasi. Di pihak lain, kawasan hutan juga merupakan ekosistem keanekaragaman hayati yang dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar yang memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Semakin cepatnya upaya pembangunan maka semakin rumit upaya untuk mengalokasikan ruang bagi kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem. Kondisi ini seringkali mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan yang pada akhirnya merugikan pemerintah dan masyarakat umum secara luas.

Di Pulau Sumatera dalam dua dekade terakhir, upaya pembangunan ekonomi dan pertambahan penduduk terutama migrasi untuk mendukung pembangunan di pulau ini meningkat dengan pesat. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan pertumbuhan penduduk akan meningkat dari 20.7% pada tahun 2000 hingga 22.7 % tahun 2025 di Sumatera (BPS 2007).

Akibat langsung dari kegiatan pembangunan ini adalah akan berkurangnya luasan habitat beberapa mamalia besar seperti gajah sumatera. Dampak negatif dari kegiatan ini menimbulkan konflik antara manusia dan satwa liar seperti gajah yang pada akhirnya mengakibatkan korban di kedua belah pihak.

Kebijakan konservasi dan pengelolaan gajah Sumatera kemudian dikaji ulang pada tahun 1995. Kajian tersebut melahirkan percepatan upaya pemanfaatan gajah hasil PLG untuk keperluan logging dan wisata alam. Pada tahun 2000, pemerintah telah melaksanakan lokakarya untuk mengkaji ulang status populasi dan distribusi gajah sumatera.

Dalam tujuh tahun terakhir, konflik antara manusia, pembangunan ekonomi dan gajah di Sumatera meningkat dengan pesat. Oleh karena itu, dalam upaya menyelesaikan masalah di atas, pada tahun 2007 pemerintah dan para pihak terkait termasuk pemerhati gajah di Indonesia kembali melakukan kajian dan menetapkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Indonesia untuk waktu sepuluh tahun mendatang.

B.  KONDISI GAJAH SUMATERA & GAJAH KALIMANTAN SAAT INI

Taksonomi dan Status Konservasi

Gajah asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Conservation Union), dengan status terancam punah, sementara itu CITES (Convention on International Trade of Endangered Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan) telah mengkategorikan gajah Asia dalam kelompok Appendix I. di Indonesia sejak tahun 1990.

Di Indonesia, sejak tahun 1931 (Ordunansi Perlindungan Binatang Liar tahun 1931), satwa ini telah dinyatakan sebagai satwa dilindungi undang – undang dan hampir punah sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dan dilestarikan. Penelitian terakhir dengan menggunakan analisis genetika menunjukkan bahwa gajah sumatera (E. maximus sumatranus adalah monophyletic dan dikategorikan sebagai Evolutionary Significant Unit (ESU; Fleischer et al. 2001; Fernando et al. 2004).

Konsekuensi ini menempatkan bahwa gajah sumatera memiliki prioritas yang tinggi dalam konservasi gajah asia. Dengan status ESU dalam kaitan dengan pengelolaan di captivity seperti kebun binatang dan taman safari, maka sub spesies ini harus ditempatkan dan dikelola secara terpisah sehingga terhindar dari terjadinya perkawinan campur dengan sub spesies lain.

Konservasi In-Situ Gajah Sumatera

1.  Status Populasi & Distribusi

Populasi gajah sumatera tersebar di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Sekalipun satwa ini tergolong dalam prioritas konservasi yang tinggi, ternyata sampai dengan saat ini kajian dan analisa distribusi dan populasi kedua satwa ini belum dilakukan secara komprehensif dan menggunakan metode ilmiah yang baku.

Para otoritas pengelola gajah di Indonesia, Departemen Kehutanan, hanya memperkirakan populasi gajah di alam dengan menggunakan metoda ekstrapolasi dari beberapa observasi langsung dan informasi dari para petugas lapangan yang bekerja di Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas Kehutanan.

Pada tahun 1980-an, pernah dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan menggunakan metode penaksiran secara cepat (rapid assessment survey). Hasil survey tersebut memperkirakan populasi gajah sumatera berjumlah 2800-4800 individu dan tersebar di 44 lokasi (Blouch dan Haryanto 1984; Blouch dan Simbolon 1985). Hasil survey ini tidak pernah diperbaharui secara sistematis kecuali di provinsi Lampung yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) pada tahun 2000 (Hedges et al. 2005). Hasil penelitian yang komprehensif di provinsi ini menunjukkan bahwa provinsi Lampung telah kehilangan 9 (sembilan) kantong populasi gajah dari 12 (dua belas) kantong yang ditemukan pada tahun 1980 (Hedges et al. 2005).

Hingga saat ini, hanya ada dua populasi gajah sumatera yang diketahui jumlahnya berdasarkan survei yang sistematis pada tahun 2000 yaitu, populasi gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 498 individu (95% CI=[373,666]) dan Taman Nasional Way Kambas 180 (95% CI=[144,225]) (Hedges et al 2005).

Dalam pertemuan Lokakarya Gajah dan Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati gajah di Indonesia menyadari bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah populasi gajah di Sumatera sangat sukar diperoleh. Oleh karenanya dilakukan estimasi sementara jumlah populasi gajah sumatera berkisar antara 2400.

Apabila diasumsikan perkiraan ini memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan perkiraan yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an maka populasi gajah sumatera telah mengalami penurunan sekitar 35% dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu yang relatif pendek.

Data populasi dan distribusi yang kurang akurat dan sudah terlalu lama akan menyulitkan banyak pihak khususnya para petugas lapangan pengelola Taman Nasional dan juga para pemegang keputusan dalam menentukan dan mengalokasikan kawasan-kawasan yang diperlukan untuk prioritas konservasi gajah dan pembangunan nasional di kedua pulau tersebut.

Beberapa hal yang selama ini dirasakan menjadi faktor pembatas dalam penentuan status populasi dan distribusi adalah tingginya investasi sumberdaya manusia, finansial dan waktu yang dibutuhkan.  Argumentasi ini sebenarnya dapat diatasi dengan cara membangun kolaborasi yang sinergis antara para pihak yang berkepentingan, terutama pihak yang menggunakan lahan hutan untuk sektor pertanian, industri kehutanan, pertambangan, pemerintah pusat dan daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi gajah.

2. Habitat & Tingkah Laku

Gajah sumatera merupakan sub spesies gajah Asia yang umumnya hidup di daerah dataran rendah, dan tinggi di kawasan hutan hujan tropika pulau Sumatera. Satwa ini merupakan spesies yang hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok dan dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan social yang kuat. Studi di India menunjukkan satu populasi gajah dapat terbentuk dari beberapa klan dan memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50-200 individual (Sukumar 1989).

Hingga saat ini diketahui bahwa 85% populasi gajah di Sumatera berada diluar kawasan konservasi. Kondisi ini menyulitkan para pengelola untuk melakukan manajemen konservasi gajah karena adanya tumpang tindih kegiatan dan perbedaan usulan alokasi peruntukan lahan dari pihak-pihak lain.

Kelompok gajah bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain, dan memiliki daerah jelajah (home range) yang terdeterminasi mengikuti ketersediaan makanan tempat berlindung dan berkembang biak. Luasan daerah jelajah akan sangat bervariasi tergantung dari ketiga factor tersebut. Belum pernah ada penelitian yang komprehensif tentang luasan daerah jelajah untuk gajah sumatera dan kalimantan, namun pada sub spesies gajah asia lainnya seperti di India diketahui bahwa daerah jelajah gajah asia sangat bervariasi. Di India Selatan diketahui bahwa kelompok betina dapat memiliki daerah jelajah 600 km2 dan kelompok jantan 350 km2 (Baskaran et al. 1995). Studi lainnya yang juga dilakukan di India Selatan memperkirakan daerah jelajah gajah berkisar antara 105 – 320 km2 (Sukumar 1989). Di India Utara diketahui daerah jelajah kelompok betina antara 184 –  320 km2 dan kelompok jantan 188 – 408 km2 (Williams et al. 2001).

Untuk mengetahui kondisi habitat yang ideal bagi gajah sumatera dan kalimantan diperlukan pengetahuan tentang perilaku sosial, pola pergerakan dan kebutuhan ekologinya. Pergerakan musiman gajah adalah merupakan daerah jelajah yang rutin dan daerah jelajah suatu kelompok gajah dapat tumpang tindih dengan daerah jelajah kelompok lainnya. Untuk mengetahui kebutuhan spasial suatu kelompok gajah diperlukan informasi yang akurat tentang daerah jelajah kelompok gajah dan juga pergerakan musimannya. Gajah jantan dapat hidup secara sendiri (soliter) atau bergabung dengan jantan lainnya membentuk kelompok jantan. Kelompok jantan memiliki daerah jelajah yang tumpang tindih atau bersinggungan dengan daerah jelajah kelompok betina atau jantan lainnya.

Usia aktif bereproduksi pada gajah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, ketersediaan sumber dayapakan dan faktor ekologinya (misalnya kepadatan  populasi). Gajah siap bereproduksi pada usia antara 10 -12 tahun (McKay 1973; Sukumar 1989; Ishwaran 1993). Masa kehamilan berkisar antara 18 – 23 bulan dengan rata-rata sekitar 21 bulan dan jarak antar kehamilan betina sekitar 4 tahun (Sukumar 2003). Dari data ini dapat diperkirakan apabila usia maksimal gajah betina sekitar 60 tahun, maka semasa hidupnya akan bereproduksi maksimal sekitar 7-8 kali.

Kemampuan gajah bereproduksi secar alami yang rendah dikombinasikan dengan kebutuhan akan habitat yang luas dan kompak (contiguous) membuat mereka sangat rentan terhadap kepunahan.  Oleh karena itu, upaya konservasi gajah di alam selain harus memperhatikan keutuhan dan integritas habitat juga harus memperhatikan aspek dinamika populasinya.

Konservasi Ex-Situ Gajah Sumatera

  1. Sejarah Pengelolaan

Gajah captive memiliki sejarah yang panjang dan merupakan suatu permasalahan yang penting bagi konservasi gajah di Indonesia. Gajah captive di Indonesia mulai dikelola pada tahun 1980-an, pada saat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melakukan penangkapan gajah liar untuk mengurangi konflik gajah-manusia.

Konsep pengelolaan gajah oleh pemerintah Indonesia pada saat itu adalah Tiga Liman yaitu terdiri dari: Bina Liman, Tata Liman dan Guna Liman. Pada periode tahun 1986 hingga 1995, lebih kurang 520 ekor gajah telah ditangkap untuk mengatasi konflik manusia dan gajah. Gajah yang ditangkap ditempatkan di enam (6) Pusat Latihan Gajah (PLG) di Sumatera. Pengelolaan gajah dengan konsep tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena dianggap tidak berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di habitat aslinya. Selain itu, konsep Tiga Liman juga mengakibatkan terjadinya penumpukan gajah di PLG yang konsekuensinya mengakibatkan pengelolaan PLG membutuhkan dana yang sangat besar.

Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan pengelolaan gajah captive dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan konflik.

2. Pengelolaan gajah captive (ex-situ)

Pengelolaan gajah captive di Indonesia sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Namun demikian pemerintah juga melakukan kerjasama dengan lembaga konservasi dari dalam dan luar negeri untuk memperbaiki manajemen yang sudah ada. Beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam pengelolalaan gajah jinak di Indonesia adalah:

  1. Mitigasi konflik gajah-manusia.gajah captive digunakan untuk menangani konflik gajah-manusia di daerah daerah yang sering mengalami konflik. Gajah jinak digunakan untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya.
  2. Registrasi. Kegiatan registrasi gajah captive dengan menggunakan microchip. Hingga saat ini telah dilakukan proses registrasi telah dilakukan disebagian besar populasi gajah captive di Sumatera. Diperkirakan sekitar 174 ekor (36%) dari seluruh gajah yang ada di PLG sudah diregistrasi.
  3. Penelitian ekologi. Kegiatan penelitian ekologi gajah telah dilakukan untuk mengetahui jenis pakan gajah di alam serta untuk mengetahui hubungan kandungan nutris pakan dan perilaku pakan
  4. Kegiatan konservasi. Gajah captive telah digunakan untuk berbagai kegiatan konservasi termasuk patroli, perlindungan habitat, monitoring dan survey satwa liar lain
  5. Pendidikan konservasi. Gajah captive merupakan alat penting yang digunakan untuk menyampaikan pesan konservasi.
  6. Ekoturisme. Kegiatan ekoturisme adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan di hamper semua PKG dan diharapkan dapat membantu pengelolaan PKG secara mandiri.

Ancaman Terhadap Kelestarian Gajah Sumatera

Kehilangan habitat, fragmentasi habitat serta menurunnya kualitas habitat gajah karena konversi hutan atau pemanfaatan sumberdaya hutan untuk keperluan pembangunan non kehutanan maupun industri kehutanan merupakan ancaman serius terhadap kehidupan gajah dan ekosistemnya.

Ancaman lain yang tidak kalah serius adalah konflik berkepanjangan dengan pembangunan dan perburuan ilegal gading gajah.

1. Ancaman Terhadap Habitat

  1. a. Kehilangan Habitat

Tingginya kerusakan hutan di Indonesia (khususnya di Sumatera) mengakibatkan hilangnya sebagian besar hutan dataran rendah yang juga merupakan habitat potensial bagi gajah. Diperkirakan laju kerusakan hutan pada tahun 1985 hingga 1997 sebesar 1 juta hektar dan meningkat hingga 1.7 juta hektar pada akhir 1980 -an (Holmes 2001).

Apabila kita anggap laju kerusakan hutan konstan maka pada periode tahun 1997-2001, Indonesia telah kehilangan sekitar 5 juta hektar hutan (Whitten et al. 2001). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, deforestasi sebagian besar terjadi akibat konversi untuk kegiatan pembangunan non kehutanan seperti perkebunan, infrastuktur, pembangunan pemukiman baru, serta pembangunan industri kehutanan yang tidak dapat dihindari.

  1. b. Fragmentasi Habitat

Pembangunan seringkali sulit menyelaraskan atau menghindari benturan dengan kegiatan pelestarian alam atau konservasi sumber daya alam hayati. Pembangunan infrastruktur misalnya sering membelah ekosistem dan habitat gajah yang menghendaki luasan yang besar dan kompak. Di beberapa daerah, pembangunan bahkan tidak sesuai atau mendahului tata ruang daerah tersebut sehingga merusak daerah-daerah perlindungan alam.

Bagi satwa liar seperti gajah yang mengendaki habitat dan areal jelajah yang luas, fragmentasi habitat akan menyebabkan pengurangan ruang gerak sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup dari sisi ekologisnya sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik antara satwa tersebut dengan kegiatan pembangunan di sekitar habitatnya. Konflik dapat berakhir dengan korban di kedua belah pihak tetapi umumnya korban kematian gajah akibat konflik lebih banyak terjadi.

  1. c. Degradasi Habitat

Degradasi habitat juga merupakan ancaman utama bagi habitat gajah. Kebakaran hutan, kemarau panjang yang mengakibatkan berkurangnya sumber air , penggembalan hewan ternak yang berlebihan, penebangan hutan baik legal maupun ilegal dapat mengurangi sumber daya pakan gajah di habitat aslinya secara signifikan.

Degradasi habitat juga dapat terjadi karena aktivitas manusia yang megintroduksi spesies eksotik yang dapat berdampak negatif terhadap komposisi vegetasi (misalnya: Acacia nilotica).

2.  Konflik Antara Manusia dan Gajah (KMG)

Konflik manusia dan gajah (KMG) merupakan masalah yang signifikan dan ancaman yangserius bagi konservasi gajah sumatera. Akibat konflik dengan manusia, gajah mati diracun, ditangkap dan dipindahkan ke Pusat Konservasi Gajah (PKG) yang mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal (misalnya di provinsi Riau). Di sisi lain, KMG juga mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi manusia. Kerusakan tanaman, terbunuhnya manusia dan kerusakan harta benda sering terjadi akibat konflik dengan gajah. Dari ketiga jenis KMG tersebut yang paling sering terjadi adalah kerusakan tanaman (crop raiding) oleh gajah. Secara garis besar kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kerusakan tanaman yang terjadi akibat gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh gajah yang keluar dari habitatnya akibat kerusakan habitat, fragmentasi habitat ataupun degradasi habitat yang parah (obligate raiding).

Kerusakan tanaman oleh gajah juga diduga oleh tingginya tingkat kesukaan (palatability) gajah terhadap jenis tanaman yang ditanam oleh petani (Sukumar 2003). Beberapa jenis tanaman yang sering mengalami gangguan gajah adalah padi, jagung, pisang, singkong, dan kelapa sawit (Sitompul 2004; Fadhli 2004). Nilai kerusakan ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah terlihat bervariasi di setiap daerah. Hasil penelitian WCS di Lampung pada tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah sangat tidak signifikan (< 10% dari hasil panen per desa), namun kerugian ini sangat signifikan apabila harus ditanggung per individu petani (Sitompul 2004).

Untuk dapat menyelesaikan KMG perlu pendekatan dari berbagai dimensi (multi-dimension approach) dan dilakukan dengan sinergi oleh berbagai pemangku kepentingan (multi stakeholder apporach). Pendekatan dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial harus disinergikan sehingga upaya mitigasi konflik dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan. Koordinasi antar sektor perlu segera dilaksanakan sehingga reaksi tanggap terhadap konflik dapat dilakukan dengan cepat.

  1. 3. Perburuan Ilegal Gading Gajah

Konflik gajah dan manusia, tingkat kemiskinan penduduk di sekitar habitat gajah dan permintaan pasar illegal gading gajah secara komersial menjadi pendorong utama dalam terjadinya pemburuan gading gajah secara illegal. Aktifitas ini dirasakan semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama di Sumatera. Namun demikian hingga saat ini belum ada data akurat yang menjelaskan tingkat ancaman perburuan bagi gajah Sumatera dan Kalimantan Selain itu monitoring dan analisis modeling akan dampak perburuan terhadap populasi gajah sangat jarang dilakukan.

Kekhawatiran akan meningkatnya tingkat perburuan dan perdagangan ilegal gading gajah ternyata juga dirasakan oleh negara-negara lain yang memilki populasi gajah yang cukup besar di Asia (misalnya India, Sri Lanka dan Thailand). Kekhawatiran ini muncul setelah CITES membuka perdagangan gading untuk empat (4) negara di Afrika bagian selatan (Afrika Selatan, Botswana, Namibia dan Zimbabwe). Dengan dibukanya perdagangan gading secara legal untuk negara-negara di Afrika tesebut maka dapat mendorong masuknya gading gajah Asia secara ilegal di pasar gelap. Hal ini sangat mungkin terjadi karena perbedaan gading gajah Asia dan Afrika sangat sulit dideteksi perbedaannya.

Contoh kasus yang terjadi di sekitar TN Bukit Barisan Selatan, terdapat 12 pemburu dan cukong gading yang telah menjual 1.260 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah gading ini setara dengan membunuh 47 ekor gajah. Di Way Kambas, terdapat 19 orang pemburu, cukong, dan pengrajin gading yang mampu menjual 1.785 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah ini setara dengan membunuh 52 ekor gajah. Perburuan gajah itu sendiri dilakukan di wilayah Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Riau (Adhiasto 2007).

Hasil survei Wildlife Crime Unit (WCU) terhadap para pemelihara satwa dilindungi dan pemilik bagian-bagian tubuh satwa dilindungi di Provinsi Lampung, menyimpulkan bahwa harimau sumatera dan gading gajah sumatera adalah bagian satwa dilindungi yang paling banyak dimiliki oleh responden. Hal tersebut menunjukkan bahwa perburuan harimau sumatera dan gajah sumatera lebih tinggi daripada satwa lainnya.

C.  KONDISI YANG DIHARAPKAN, REKOMENDASI DAN RENCANA AKSI

  1. 1. Strategis dan Rencana Aksi dalam Pengelolaan Populasi dan Distribusi Gajah Kondisi yang diharapkan:

Pengetahuan tentang status populasi dan distribusi sangat diperlukan dalam menentukan kebijakan dan perencanaan konservasi serta mengoptimalkan intervensi manajemen konservasi. Lengkap dan akuratnya data populasi gajah di akan membantu intervensi manajemen konservasi secara optimal. Pada tahun 2011 diharapkan jumlah seluruh populasi gajah yang ada di Sumatera telah diketahui dan diestimasi dengan menggunakan metode yang dapat dijustifikasi secara ilmiah. Selain itu diharapkan distribusi gajah di Sumatera dan Kalimantan dapat dipetakan dengan akurat dan dijadikan bahan pertimbangan dan acuan penting oleh para pemangku kepentingan untuk memperhatikan agenda konservasi gajah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.

Populasi dan distribusi gajah dapat diketahui dan diakses oleh pengelola konservasi, para aktor pembangunan, politikus dan para ilmuwan yang peduli gajah pada setiap saat diperlukan. Para politikus dan agen pembangunan di Sumatera perlu mengetahui distribusi gajah sehingga dalam merencanakan pembangunannya dapat menghindari atau meminimalisir konflik dengan keperluan lahan dengan habitat gajah. Di sisi lain pengelola konservasi dan ilmuwan gajah sangat memerlukan data tersebut untuk memberi saran dan rekomendasi apabila terjadi masalah yang harus diputuskan dalam mengatasi konflik antara gajah dengan pembangunan

Rekomendasi:

Hal penting yang dilakukan dalam pengaktualisasian status populasi dan distribusi gajah Sumatra dan Kalimantan adalah:

  1. a. Melakukan survei dan monitoring jumlah,distribusi, keragaman genetis populasi gajah yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan dengan menggunakan metode yang standard dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah misalnya dengan metode Dung Count (Barnes & Jensen 1987; McClanahan 1986; Barnes 1993 dan Hedges & Tyson 2002), Fecal DNA capture-recapture (Eggert et al. 2003), dan Patch Occupancy (MacKenzie et al. 2002, 2003 ; MacKenzie and Royle 2005).
  2. b. Membentuk database yang standar dan digabungkan dengan sistem informasi geografis (Geographic Information System) untuk melihat perubahan distribusi dalam rentang waktu tertentu.
  3. c. Melakukan pengaktualisasian data dengan melaksanakan monitoring secara sistematis pada kantong –kantong populasi gajah.
  4. d. Menunjuk instansi tertentu pada tingkat nasional dan regional yang akan mengelola database gajah sumatera dan gajah kalimantan yang didukung oleh sumber daya dan tenaga ahli dari berbagai pihak yang peduli tentang gajah
  5. e. Mempertahankan jumlah populasi gajah yang lestari (viable) dan mengupayakan ketersambungan (connectivity) suatu populasi dengan populasi lainnya.
  6. f. Melakukan intervensi manajemen konservasi terhadap populasi gajah yang dinilai tidak lestari (viable) sehingga populasi gajah tersebut dapat pulih kembali. Intervensi manajemen dapat dilakukan dengan mengatur keseimbangan jumlah populasi, rasio seks dan keragaman genetik

2. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah dalam Pengelolaan Habita Gajah Kondisi yang diharapkan:

Dalam pengelolaan habitat gajah di alam diperlukan kolaborasi antar pemangku kepentingan secara terpadu. Aktivitas pembangunan di kawasan yang merupakan habitat gajah harus dikelola dengan mengedepankan aspek konservasi. Pendekatan baru yang lebih berpihak kepada konsep pembangunan lestari dan konservasi gajah di alam harus dapat disosialisasikan dan diterima oleh para pemangku kepentingan kunci. Hal penting lainnya adalah pengelolaan habitat harus dilakukan dengan pendekatan lansekap dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi politik dan status kawasan. Koordinasi antar instansi harus ditingkatkan dan memegang peranan penting dalam pengelolaan habitat gajah.

Rekomendasi:

  1. a. Hal utama yang perlu dilakukan segera untuk melindungi dan menyelamatkan habitat gajah di Sumatera dan Kalimantan Timur adalah:
  2. b. Memahami, memonitor dan mempublikasikan kondisi seluruh habitat gajah, serta daerah jelajahnya sehingga dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas dan aktor pembangunan untuk menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan konflik dengan gajah
  3. c. Meminimalisasi kehilangan habitat dengan menghindari kegiatan pembangunan di sekitar dan di dalam kawasan yang diketahui memiliki populasi gajah dan atau merupakan daerah jelajah gajah.
  4. d. Membangun koridor-koridor pada habitat gajah yang terputus akibat aktivitas pembangunan. Perlu dilakukan pengintegrasian habitat dan daerah jelajah dalam tata ruang, perencanaan pembangunan dan pengelolaan konsesi.
  5. e. Mengembangkan konsep “Managed Elephant Range” dengan melakukan pengelolaan habitat oleh multi pemangku kepentingan secara terpadu terutama di luar kawasan konservasi (areal HPH, HTI, Perkebunan, Pertambangan dan lahan masyarakat).
  6. f. Melaksanakan program restorasi dan rehabilitasi habitat gajah untuk meningkatkan daya dukung habitat. Melaksanakan studi intensif pada ekologi pakan (dietary ecology), pola pergerakan (movement) dan penggunaan habitat (habitat use) untuk mengoptimalkan intervensi manajemen konservasi gajah
  7. g. Mensinergikan habitat dan koridor gajah dalam program tata ruang dan pembangunan nasional, provinsi serta kabupaten/kota di Sumatera dan Kalimantan.
  1. 3. Strategi dan Rencana Aksi dalam Mengatasi Konflik Manusia dan Gajah Kondisi yang diharapkan:

KMG merupakan suatu fenomena yang akhir-akhir ini diketahui semua pihak sebagai suatu masalah kompleks di Sumatera. Konflik sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat mengancam kedua belah pihak terutama kelestarian gajah. Tingginya permintaan lahan untuk tujuan pembangunan di kedua daerah tersebut mendorong timbulnya konflik antara manusia dan gajah semakin besar dan rumit diselesaikan dengan tuntas dan waktu yang pendek. Berbagai upaya mitigasi konflik telah dilakukan, tetapi sejauh ini dirasakan belum membuahkan hasil yang maksimal. Kesulitan tersebut sudah sangat dirasakan dan menjadi beban yang berkepanjangan bagi otoritas pengelola gajah dalam hal ini Direktorat Jenderal PHKA dan pemerintah kabupaten serta para pemukim yang terlibat konflik.

Pada prinsipnya semua pihak berharap agar populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan dapat hidup berdampingan dengan manusia dan juga dengan aktivitas pembangunan. Untuk itu harus ada upaya yang lebih pragmatis dalam menghindari konflik antara kedua pihak. Agen pembangunan, para pemegang keputusan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten serta para pihak yang terkait dan peduli terhadap konflik semestinya dapat bekerjasama secara terbuka dalam menghindari dan mengatasi konflik manusia dan gajah. Perencanaan pembangunan yang memperhatikan aspek kelestarian keanekaragaman hayati prinsipnya dapat menghindari atau mengurangi terjadinya konflik antara manusia dengan hidupan liar seperti populasi gajah liar.

Rekomendasi:

Upaya mengatasi KMG dalam jangka pendek dan jangka panjang harus dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Penyelesaian KMG sedapat mungkin harus melibatkan semua pihak terkait secara terbuka dan partisipatif. Untuk itu beberapa prioritas yang direkomendasikan untuk mengatasi KMG adalah sbb:

  1. Membentuk jaringan kordinasi penanganan KMG pada tingkat nasional yang akan merumuskan kebijakan KMG dan provinsi serta kabupaten yang bersifat operasional. Jaringan ini dapat di bantu oleh para pihak dari unsure non pemerintah yang berfungsi sebagai penasehat teknis.
  2. Menghentikan pembangunan yang tidak terencana dan dapat mengakibatkan kerusakan habitat, fragmentasi habitat dan degradasi habitat populasi gajah
  3. Mendorong pelaksanaan pembangunan yang mengikuti kaidah-kaidah perencanaan yang berpihak pada pelestarian lingkungan serta hidupan liar seperti populasi gajah sumatera
  4. Menetapkan protokol nasional penyelesaian KMG dan meminta agar semua pihak yang terlibat dalam KMG mengikuti aturan yang tertuang dalam protokol tersebut.
  5. Secara bertahap membentuk tim penyelamatan gajah yang terkena korban KMG, dengan di dukung oleh sumberdaya profesional dan peralatan memadai serta dana yang cukup.
  6. Melakukan studi dan penelitian secara regular tentang opsi-opsi penyelesaian KMG yang efisien dengan teknologi yang sederhana serta metode adaptif.
  7. Khusus untuk penanganan KMG di Kalimantan Timur, karena bersifat trans-nasional perlu dilakukan kerjasama yang menyeluruh dengan pemerintah Kerajaan Malaysia terutama Pemerintah Sabah.
  1. 4. Strategidan Rencana Aksi dalam Mengatasi Perburuan dan Perdagangan Ilegal

Kondisi yang diharapkan:

Perburuan dan perdagangan illegal gading gajah merupakan ancaman serius terhadap kelestarian populasi gajah sumatera dan kalimantan. Resiko kepunahan lokal akibat perburuan dan perdagangan illegal perlu diwaspadai dengan segera. Perburuan yang terjadi di Sumatera diduga juga disebabkan oleh karena semakin tingginya permintaan gading gajah secara illegal di tingkat internasional. (Dublin et al. 2006).

Sistem monitoring yang rutin seperti yang diterapkan dengan MIKE (Monitoring Illegal Killing of Elephant) oleh CITES perlu segera diimplemetasikan. Dalam kaitan ini pemerintah dan para pemerhati gajah Sumatera dan Kalimantan berharap agar penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan illegal gading Gajah asal Sumatera dan Kalimantan dapat dilaksanakan secara konsisten,  onsekuen dan benar serta tidak berpihak.

Rekomendasi:

Beberapa hal penting yang harus diterapkan dalam rencana strategi aksi dalam mengatasi perburuan dan perdagangan illegal gajah, adalah:

  1. a. Melakukan monitoring perburuan gajah secara intensif di Sumatera dan KalimantanMeregistrasi gajah captive dan stockpiles gading gajah yang di lembaga  konservasi pemerintah dan swasta untuk menghindari perdagangan illegal gajah dan gading gajah
  2. b. Memperbaiki sistem penegakan hukum, penerapan sanksi yang jelas dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum.
  3. c. Mensosialisasikan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta membentuk koordinasi lintas sektoral untuk mengeffektifkan proses penegakan hukum
  4. d. Melakukan kampanye penyadartahuan dan konservasi gajah sumatera dan kalimantan secara regular kepada semua lapisan masyarakat
  5. e. Menetapkan peraturan-peraturan daerah yang mendukung konservasi gajah
  1. 5. Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Gajah Captive (Ex-Situ) Kondisi yang diharapkan:

Gajah captive memiliki peran yang sangat potensial dalam upaya konservasi gajah di Indonesia Sebagaimana disebutkan terdahulu gajah captive adalah merupakan gajah yang ditangkap akibat konflik dengan pemukiman, perkebunan dan kegiatan pembangunan lainnya. Hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara konservasi gajah ex-situ dan in situ membuat upaya konservasi keduanya harus berjalan secara simultan dan saling mendukung.

Rekomendasi:

  1. Beberapa hal yang dirasakan sangat penting dilaksanakan dalam rencana strategis dan aksi pengelolaan gajah captive (ex-situ) adalah:
  2. Membuat manual konservasi gajah captive dan pengelolaan PKG. Manual konservasi gajah captive berfungsi sebagai panduan dan protokol pengelolaan gajah captive secara rinci.
  3. Meneruskan program registrasi dengan menggunakan microchip hingga semua gajah captive teregistrasi dengan baik.
  4. Menentukan arah program pengembangan gajah captive dengan jelas sehingga pengelolaannya dapat dilakukan dengan maksimal bersinergi terhadap kebutuhan yang berkelanjutan dengan kestabilankeragaman genetik gajah (breeding center program) dan pemanfaatannya terhadap kegiatan konservasi penanganan konflik gajah manusia, patroli pengamanan habitat, ekoturisme, penelitian dan pendidikan.
  5. Merasionalisasi populasi gajah dalam setiap PKG dan intitusi lain yang memanfaatkan gajah khususnya dengan kondisi daya dukung PKG itu sendiri (seperti: ketersedian pakan alami, sumber air dan luas wilayah) sesuai dengan arah pemanfaatan gajah yang bersinergi dengan program pengembangbiakan  Mengembangkan fasilitas infrastruktur PKG, pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan mahout khususnya dalam mengembangkan kapasitas mahout dalam pemahaman tingkah laku dan biologi gajah, keterampilan di bidang konservasi, pelatihan dan pengendalian gajah, perawatan dan dukungan medis, serta pemanfaatan gajah dalam konteks konservasi, ekowisata, dan pendidikan
  6. Membuka kesempatan pihak ketiga untuk dapat memanfaatkan gajah secara lestari, serta mendorong kontribusi pengguna gajah captive untuk kepentingan komersil agar dapat memberikan kontribusinya secara nyata bagi kegiatan konservasi gajah in-situ dan ex-situ.
  7. Membangun strategi pendanaan melalui promosi terhadap pihak ketiga (Perkebunan; HTI; Kebun Binatang; Lembaga Konservasi Lainnya) untuk membantu dalam pengelolaan dan pemeliharaan gajah PKG.

  1. 6. Strategi dan Rencana Aksi untuk Meningkatkan Dukungan dari Berbagai Pihak Kondisi yang diharapkan:

Upaya pelestarian gajah sumatera dan kalimantan merupakan pekerjaan yang kompleks dan memerlukan dukungan yang luas dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena gajah memerlukan habitat yang luas untuk dapat bertahan hidup sementara itu kebutuhan habitat yang luas tersebut sering kali berbenturan dengan kegiatan alokasi lahan untuk kegiatan pembangunan. Untuk mengupayakan keberhasilan pelestarian gajah dan habitatnya, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan dan memegang peranan penting dalam strategi konservasi.

Rekomendasi:

Beberapa langkah strategis untuk mendapatkan dukungan yang luas bagi konservasi gajah sumatera dan Kalimantan adalah:

  1. Melibatkan unsur pemerintah daerah dan sektor swasta dalam pengorganisasian kegiatan konservasi gajah dan program mitigasi konflik manusia dan gajah Mengembangkan program kampanye yang efektif secara nasional dengan kelompok target yaitu pemerintah daerah dan sektor swasta Perlunya dilakukan survei tingkat dukungan masyarakat (attitude survey) terhadap konservasi gajah sebagai data dasar untuk memantau tingkat keberhasilan kampanye konservasi gajah secara nasional dan lokal. Mengupayakan diterbitkannya Keputusan Presiden yang mendukung upaya pelestarian gajah sumatera dan kalimantan.
  2. Memasukkan materi konservasi gajah dalam program pendidikan jenjang karier di pemerintahan.
  3. Mengembangkan web-site konservasi gajah Indonesia

SUMBER:

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam – Departemen Kehutanan RI. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007 – 2017. Jakarta.

Tinggalkan komentar