PENEGAKKAN HUKUM LINGKUNGAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh Wahid Hamdan
( Tugas MK. Hukum Lingkungan, Porgram Magister Ilmu Lingkungan, Unila)
- I. PENDAHULUAN
Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu sendiri. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan.
Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara lingkungan dan manusia saling mempunyai kaitan yang erat. Ada kalanya manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, sehingga aktivitasnya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya.
Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyakd itentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup.
Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu Lingkungan (BML). Pada pasal 15 Undang -Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan : bahwa Baku Mutu Lingkungan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku Mutu Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Pada tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka hal tersebut depat diklarifikasikan sebagai suatu tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum ke pengadilan. Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada.
Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup dan penegakkan hukum lingkungan di era otonomi daerah.
- II. PERUMUSAN PERMASALAHAN
Adapun perumusan masalah pada tulisan ini adalah :
“Bagaimana kondisi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada era otonomi daerah dan penegakkan hukum lingkungan pada era otonomi daerah.?”.
- III. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Tujuan dari penulisan ini adalah :
“Untuk menjelaskan perkembangan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta penegakkan hukum lingkungan pada era otonomi daerah ”.
- IV. PEMBAHASAN
A. Sekilas Sejarah Hukum Lingkungan di Indonesia
Sejarah perkembangan hukum lingkungan di Indonesia terlihat pada peraturan perundang-undangan yang ada sejak zaman penjajahan Belanda, hingga sekarang ini. Adapun perkembangannya dapat dibagi dalam tiga zaman, yaitu:
- 1. Zaman Pra Kemerdekaan
- a. Zaman Hindia Belanda
Untuk pertama kali, aturan mengenai lingkungan hidup adalah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisschherij, dan Sponsenvisscherijordonanntie (Stb, 1916 No. 157), dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916. Dua ordonansi tersebut dalam rangka mengatur jenis-jenis mutiara dan bunga karang yang ada di ilayah Hindia Belanda, dengan jarak tiga mil laut dari pantai-pantai Hindia Belanda.
Pada tanggal 26 Mei 1920 dengan Penetapan Gubernur Jenderal No. 86 telah diterbitkan Visscherijordonanntie (Stb. 1920 No. 396). Ordonansi ini mengatur perikanan untuk melindungi keadaan ikan, dan yang termasuk keadaan ikan meliputi pula telur ikan, benih ikan, dan kerang. Ordonansi lain di bidang perikanan adalah Kustvisscherijordonnatie (stb. 1927 No. 144), berlaku sejak tanggal 1 September 1927.
Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah hinderordonnatie (Stb. 1926 No. 266, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stb 1940 No, 450), yaitu Ordonansi Gangguan. Di dalam Pasal 1 Hinderordonanntie ini ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha, dan ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. ordonansi lain di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingordonnatie (Stb. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan yang berdekatan dengan ordonansi ini adalah ordonansi tentang perburuan, yaitu Jachtordonnatie (Stb. 1940 No. 733), yang berlaku laku untuk Jawa dan Madura sejak 1 Juli 1940. Jachtordonnantie 1940 ini mencabut Jachtordonnatie Java en Madoera 1931 (Stb. 1931 No. 133). Di bidang perusahaan yaitu Bedriffsreglementeringsordonantie 1934 (Stb 1938 No. 86 jo. Stb. 1948 No. 224).
Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurbeschermingsor- ordonnantie 1941 (Stb. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yailu Natuurmonumentenen en Wildreservatenordonnatie 1932 (Sih. 1932 No. 17). Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia), yang berlaku terhadaphadap suaka-suaka alam dengan perbedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.
Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsvormingsordonanntie (Stb. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Oleh karena Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, maka ordonansi tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda.
- b. Zaman Jepang
Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang- ndangan di idang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S. Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gubernur Jenderal Jepang (Gunseikan). Peraturan perundangundangan di waktu pendudukan Jepang itu terutama ditujukan untuk memperkuat kedudukan penguasa Jepang pada saat itu. Kayu aghata, alba, dan balsam diperkirakan merupakan bahan baku untuk membuat pesawat peluncur yang digunakan untuk mengangkut logistik tentara Jepang.
- 2. Zaman Kemerdekaan (termasuk di Era Otonomi Daerah)
Berbagai peraturan perundang-undangan yang diundangkan sesudah proklamasi kemerdekaan hanya mengatur satu segi lingkungan hidup, dan peraturan perundang-undangan tersebut bersifat parsial. Usaha penyusunan suatu konsep rancangan undang-undang yang mengatur lingkungan hidup yang bersifat komprehensif integral dimulai pada tahun 1972, yaitu usaha yang untuk pertama kali dirintis oleh Panitia Perumus dan Rencana Kerja Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini dibentuk dengan Keputusan Presiden RI No. 60 Tahun 1972 dan bertugas menyusun, membuat inventarisasi dan rencana kerja Pemerintah di bidang pengembangan lingkungan hidup.
Konsep rancangan yang disusun pada waktu itu berjudul “Rancangan Undang- ndang Tentang Pokok – pokok Pengembangan Lingkungan Hidup”. Kegiatan inventarisasi yang dilakukan sampai Oktober 1976 mencatat 23 undang-undang termasuk ordonansi, 39 Peraturan Pemerintah, 5 Keputusan Presiden, 2 Instruksi Presiden, 46 Peraturan/Keputusan Menteri, 4 Keputusan Direktur Jenderal, dan 31 Peraturan Daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikelompokkan dalam bidang kehutanan, pengairan, pertanian, pertambangan, perindustrian, kependudukan/ permukiman, kesehatan, radiasi, kehewanan/perikanan.
.
Dari hasil inventarisasi tersebut, maka penyusunan rancangan awal perundang-ndangan tentang lingkungan hidup pada tahun 1976 menghadapi kenyataan bahwa:
1. Segi-segi lingkungan hidup telah diatur dalam berbagai peraturan perundang- ndangan yang telah berlaku
2. Peraturan perundang-undangan tersebut pada dasarnya berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam.
3. Peraturan perundang-undangan tersebut bersifat parsial-sektoral.
Dengan demikian, rintisan usaha penyusunan suatu konsep rancangan undang – undang tentang lingkungan hidup yang bersifat holistik pada waktu itu menghadapi masalah yaitu bagaimana memasukan wawasan lingkungan ke dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Sebenarnya ada dua alternative yang dapat ditempuh, yaitu:
- Memperbaharui setiap undang-undang denganmemasukkan wawasan lingkungan yang telah diperbaharui tersebut kemudian disusun peraturan pelaksanaannya.
- Disusun satu undang-undang baru yang berwawasan lingkungan sebagai dasar perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sekaligus sebagai dasar penetapan peraturan pelaksanaan untuk masing-masing segi lingkungan hidup. Undang-undang yang demikian bersifat sebagai payung bagi peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup
.
Dari kedua alternatif tersebut, maka alternatif kedua yang kemudian dipilih Mengingat bahwa materi muatan undang-undang tentang lingkungan hidup adalah demikian luasnya, maka tidaklah mungkin untuk mengaturnya secara terperinci dalam satu undang-undang. Oleh karena itu, dapat ditempuh pengaturan ketentuan-ketentuan pokok yang memuat asas-asas dan prinsip-prinsipnya saja. Dengan cara demikian, undang-undang tentang lingkungan hidup merupakan ketentuan payung (umbrella act). Pemilihan alternatif ini dilandasi suatu kesadaran bahwa implementasi undang-undang tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan penuh tanggung jawab agar tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat.
Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara nasional baru terlaksana pada tahun 1982 yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982. Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 sebagai langkah pertama, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN) mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencegahan Pencemaran pada tahun 1971. Sebagai persiapan menjelang Konferensi Stockholm yang menyelenggarakan sebuah seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” di Bandung yang berlangsung dari tanggal 15 sampai dengan 18 Mei 1972.
Tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental yang disebut Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1972. Panitia tersebut diketuai oleh Men PAN/Wakil Ketua BAPPENAS, sedangkan sekretariatnya ditempatkan di LIPI. Panitia ini berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan dalam wujud Bab 4 dalam Repelita berdasarkan butir 10 Pendahuluan BAB III GBHN 1973-1978. Dengan Keputusan Presiden No, 27 Tahun 1975 telah dibentuk Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokok menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa sekarang maupun di masa mendatang, dengan maksud menilai implikasi sosial, ekonomi dan politik dari pola-pola tersebut, untuk dijadikan dasar penentuan kebijakan pemanfaatan serta pengamannya sebagai salah satu sumber daya pembangunan nasional. GBHN yang ditentukan oleh MPR tahun 1978 itu menggariskan langkah untuk pembinaan pengelolaan lingkungan hidup.
Aparatur pemerintah dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup telah diangkat untuk pertama kalinya dalam kabinet, yaitu dalam Kabinet Pembangunan III, seorang menteri yang mengkoordinasikan aparatur pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menteri tersebut adalah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1978
Selanjutnya baru pada tahun 1982 adanya peraturan yang mengatur struktur dan fungsi penataan lingkungan. Peraturan yang mengatur tersebut adalah Undang – ndang Nomor 4 Tahun 1982, vang disahkan pada tanggal 11 Maret 1982 tentang Undang-undang Lingkungan Hidup yang disingkat UULH
Dipandang dari sudut sifatnya, maka peraturan perundang-undangan sampai dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 merupakan produk – produk hukum yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan (use-oriented law). Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, dimulailah tahap baru, yaitu tahap pengembangan peraturan perundang – undangan yang diarahkan kepada produk-produk hukum yang berorientasi kepada lingkungan itu sendiri (environmentoriented law). Tahap berikutnya keluarlah berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup, yang berorientasi pada lingkungan, dengan sifat dan wataknya lebih mengikuti sifat dan hakikat lingkungan sendiri yang bersifat ekologis Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menandakan awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integrasi dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diundangkannya undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga masyarakat tidak hanya sekadar berperan serta, tetapi juga mampu berperan serta secara nyata.
Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia yang memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982. Pada tahun 1997 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 ini memuat norma-norma hukum lingkungan hidup. Selain itu, undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundangundangan mengenai perairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain. Adapun pertimbangan penetapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yang disahkan tanggal 19 September 1997 sebagai ganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 adalah:
a. bahwa lingkungan Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan bagi kehidupan dalam segala aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan nusantara;
b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan untuk mencari kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;
c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa, sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
f. Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu ditetapkan Undang – undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 memuat norma – norma hukum lingkungan, yang menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan lingkungan hidup. Oleh karena materi cakupan lingkungan hidup sangat luas yang meliputi ruang angkasa, perut bumi dan dasar laut, juga meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, dan sumber daya buatan. Dengan demikian, materi lingkungan hidup ini tidak mungkin diatur dalam satu undang-undang secara lengkap, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa.
Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup saja, sehingga undang-undang ini berfungsi sebagai undang-undang payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup, dan untuk penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada maupun yang akan ada.
Selanjutnya pada era otonomi daerah lahir Undang-Undang Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan Hidup (PPLH) no 32 tahun 2009 yang merupakan pengganti UU LH no 23 tahun 1997. UU PPLH ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- A. Hukum Lingkungan Menempati Titik Silang Bidang Hukum Lainnya
Hukum lingkungan yang merupakan bidang ilmu baru dalam dunia ilmu hukum dalam perkembangannya, hukum lingkungan termasuk ilmu hukum yang tidak berjenis kelamin (maksudnya tidak termasuk hukum publik atau hukum privat). Oleh karena itu, hukum lingkungan dapat menempati titik silang bidang hukum lainnya yang sudah ada sebelumnya, baik hukum publik maupun hukum privat Maksudnya adalah hukum lingkungan berkaitan dengan bidang hukum pidana, hukum administrasi, hukum tata negara, hukum internasional, hukum pajak, hukum agraria, hukum Islam, hukum perdata, dan lain-lain, sehingga penegakkan hukumnya juga menempati titik silang bidang hukum lainnya. Dalam lapangan hukum pidana terdapat beberapa ketentuan pidana yang tercantum dalam beberapa perundang-undangan lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya ketentuan pidana bagi pelanggar lingkungan hidup.
Dalam hukum pidana terutama ditunjukkan pada suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, adapun perbuatan yang diancam dengan pidana menurut perundang-undangan lingkungan adalah perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan. Dua perbuatan tersebut, memang diancam pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana yang ditentukan dalam perundang-undangan lingkungan.
Di bidang hukum administrasi menunjukkan bahwa bagian terbesar hukum lingkungan merupakan hukum administrasi. Aspek hukum administrasi ini tampak dengan peran pemerintah dalam memberikan perizinan untuk mengelola sumber daya alam dan melakukan langkah-langkah penyelamatan lingkungan apabila ketentuan perizinan yang disyaratkan dilanggar. Hukum lingkungan yang menempati bidang hukum administrasi lebih lanjut dibahas pada berikutnya Dalam lapangan hukum internasional, misalnya masalah pencemaran dan perusakan lingkungan tidak hanya menjadi masalah bangsa Indonesia saja, tetapi sudah menjadi masalah antar negara, regional dan global. Pencemaran dan perusakan lingkungan juga semakin meluas, kadang-kadang melintasi batas-batas negara dalam bentuk pencemaran air sungai, emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut dan sebagainya. Sebagai contoh kebakaran hutan di Sumatera atau Kalimantan dengan mudah asapnya merembet ke Malaysia, Singapura, Philipina, Brunei dan juga sebaliknya. Semua ini memerlukan pengaturan khusus yang bersifat supranasional, sehingga setiap negara untuk turut serta menanggulanginya dengan konferensi atau konvensi internasional.
Hukum lingkungan juga menempati hukum pajak, karena masalah pencemaran dan perusakan lingkungan dapat dikenakan pajak, sebagai pengganti beban pencemaran dan perusakan lingkungan. Jadi, ada ketentuan perpajakan yang mengatur lingkungan dalam rangka untuk mengurangi dan mencegah pencemaran dan perusakan lingkungan. Begitu juga dengan masalah-masalah ketatanegaraan, bahwa hukum lingkungan tidak kurang pentingnya dalam masalah-masalah ketatanegaraan, karena berkaitan dengan pengelolaan negara yang sesuai dengan alam lingkungan Indonesia. Berkaitan dengan hukum tata negara, juga aspek hukum agraria, maka kaitan dengan UUD 1945 dan tata negara, dapat merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960, termasuk di dalamnya ruang angkasa. Dengan demikian, pemberian hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan lain-lain harus juga memperhatikan kepentingan lingkungan. Sebagai contoh, apabila tanah dirusak atau dipergunakan yang mengakibatkan tercemar atau rusaknya lingkungan, maka hak atas tanah tersebut dapat dicabut.
Hukum lingkungan yang menempati hukum Islam dan hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an, al- Hadits dan Ijtihad memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai masalah lingkungan hidup. Banyak ayat dan hadits di samping hasil ijtihad para ulama yang menjelaskan masalah sekitar lingkungan hidup. Islam yang merupakan agama rakhmatan lil ‘alamin menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup bagi kehidupan umat manusia di muka bumi. Islam dengan praktek rakhmatan lil ‘alamin menjawab tantangan global terhadap lingkungan hidup dengan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Hukum lingkungan yang menempati hukum perdata berkaitan dengan masalah – masalah kerugian akibat perusakan dan pencemaran, sehingga menimbulkan adanya tuntutan ganti kerugian, perbuatan melanggar hukum dan penyelesaian sengketanya baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan.
- B. Pembangunan Nasional dan Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undang – undang Dasar 1945. Dalam melaksanakan pembangunan nasional perlu memperhatikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan secara seimbang, hal ini sesuai dengan hasil Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
Bagi Indonesia, mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang sehingga, dalam penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional. Namun demikian, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar bagi pembangunan, di lain pihak keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan dan begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6 kewenangan terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan yang berpotensi merusak bentang alam dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan lindung. Kasus-kasus pencemaran lingkungan juga cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan industrialisasi yang tidak diiringi dengan 3 penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan. Sungai-sungai di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah padat, pupuk maupun pestisida. Masalah pencemaran ini disebabkan masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap Perlu segera didorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dan menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang
Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development – WSSD) di Johannesburg Tahun 2002, Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan dating dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilarpilar yang saling tergantung dan memperkuat satu sama lain.
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Konsep ini mengandung dua unsur :
v Yang pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua negara.
v Yang kedua adalah keterbatasan. Penguasaan teknologi dan organisasi sosial harus memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.
Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari Pembukaan Undang – ndang Dasar 1945 yaitu terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; tercapainya kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa yang cerdas; dan dapat berperannya bangsa Indonesia dalam melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, visi pembangunan yang kita anut adalah pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu fungsi lingkungan hidup perlu terlestarikan.
Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan ketiga pilar pembangunan yaitu bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Dalam penerapan prinsip Pembangunan Berkelanjutan tersebut pada Pembangunan Nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk memadukan tiga pilar pembangunan secara proposional. Sejalan dengan itu telah diupayakan penyusunan Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan melalui serangkaian pertemuan yang diikuti oleh berbagai pihak. Konsep pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup.
D. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh system pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hokum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk system pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
1. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
- Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup
- Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
- Membangun hubungan interdependensi antar daerah
- Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
- Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
- Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
- Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
- Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
- Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
2. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Sisi lemah dalam elaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hokum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi.
- Regulasi Perda tentang Lingkungan.
- Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
- Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
- Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
- Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
- Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
- Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
- Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
- Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain
Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan. Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982. Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang – undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya. Undang – undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang -undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non –departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang Kehutanan, UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur.
Selanjutnya keberadaan UU PLH no 23 tahun 1997 dirasa tidak cukup mampu menyelesaiakan persoalan kerusakan lingkungan, oleh karenanhya pada tahun 2009, setelah melalui proses yang cukup panjang disahkan UU Perlinfdungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) no 32 tahun 2009 sebagai pengganti UU PLH 23 tahun 1997. Terhadap UU PPLH banyak yang bertanya: apa yang baru dengan Undang-undang tersebut? Terhadap hal ini tentu saja tidak dapat dijawab singkat tetapi juga dapat diberi “kerling ilmiah” sederhana. Dari segi judulnya, jelas sudah berubah dari UUPLH (1997) menjadi UU PPLH (2009). UU PPLH menggunakan judul perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Judul ini disepakati oleh DPR RI dan Pemerintah untuk dibaca dalam satu tarikan nafas.
Komitmen kedua lembaga pembentuk UU PPLH menggarisbawahi bahwa kata perlindungan memiliki arti tekan yang kuat sebagai orientasi utama pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itulah, kritik teoritik bahwa dalam kata “environmental management” sebenarnya sudah ada unsur perlindungan, sehingga kata tersebut tidak perlu ditambahkan tidaklah ditampik melainkan justru dilekatkan dan ditonjolkan untuk membuktikan perlindungan adalah masalah penting yang harus mendapatkan daya tekan. Secara seloroh saya sendiri memberi argumentasi bahwa penambahan kata perlindungan justru untuk menegaskan posisi kreatif pengelolaan lingkungan yang diagendakan bagi kepentingan perlindungan, sekaligus nama tersebut dapat dikenal sebagai “nama baptis” atau “nama naik haji”. Ibaratnya UUPLH setelah dikaji untuk direvisi, kemudian dilakukan perombakan pembaruan hukum, ibaratnya sedang “naik haji” yang akhirnya mendapat julukan nama baru sebagai hasil “ritual teologis yuridis” dengan nama perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Substansi pengelolaan lingkungan hidup tetap eksis dan menjadi ruh manajemen lingkungan di Indonesia tetapi dengan tarikan hakikiyah awal “perlindungan”. Dengan demikian, kata “perlindungan dan pengelolaan” lingkungan hidup dipersandingkan dalam arakan yang sama dengan tarikan desah yang senafas.
Pembaruan yang ada dalam UU PPLH sangat banyak. Peneguhan hak konstitusional atas lingkungan berdasarkan amanat UUD 1945 dan dinamika otonomi daerah telah menjadi landasan konsiderasi yang penting dan mengawali pembentukan UU PPLH. Dalam Penjelasan Umum menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Selain itu, Undang-Undang ini menurut Penjelasan Umumnya juga mengatur:
- keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
- kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
- penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
- penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen:
- kajian lingkungan hidup strategis,
- tata ruang,
- baku mutu lingkungan hidup,
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
- amdal,
- upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup,
- perizinan,
- instrumen ekonomi lingkungan hidup,
- peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
- anggaran berbasis lingkungan hidup,
- analisis risiko lingkungan hidup, dan
- instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
- pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
- pendayagunaan pendekatan ekosistem;
- kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
- penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
- penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
- penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Selanjutnya, Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.
Akankah dengan keterangan eksplanatif yang terdapat dalam UU PPLH, Indonesia akan memiliki “KLH Plus” alias KLH yang memiliki otoritas penuh melindungi dan mengelolaan lingkungan hidup secara nyata. Pihak sektoral tentu saja secara departemental harus dapat memahami atas terjadinya pergeseran kewenangan yang besar kepada KLH. Posisi hukum KLH jelas bertambah dan tentu akan sedikit mengurangi kewenangan sektor. Peristiwa ini selalu dialami negara-negara maju yang memiliki niatan besar bagi perbaikan nasib lingkungan hidupnya. Pergeseran lempengan kekuasaan selalu dapat terjadi dengan menjadikan kebijakan lingkungan sebagai episentrum pembangunan suatu bangsa. Pergeseran tersebut tentu saja jangan sampai mengakibatkan “gempa kekuasaan”. Apalagi nanti harus ada KLHS, RPPLH, Izin lingkungan, maupun penegakan hukum lingkungan terpadu, semuanya memberikan harapan yang optimistik bahwa Indonesia akan memiliki kualitas ligkungan yang lebih baik. Bisakah? Sejarah akan menguji kesungguhan kemitmen kita bersama untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan nusantara. Saatnya kini mensosialisasikan, melaksanakan dan menegakkan UU PPLH untuk bertindak nyata melindungi dan mengelola lingkungan.
- E. Potret Lingkungan Hidup di daerah
Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hokum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut.
1). Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain
2). Tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain
3). Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
4). Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan ingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup
5). Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
6). Lemahnya implementasi paraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.
7). Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum.
8). Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.
9). Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerahdaerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.
- V. PENUTUP
Begitu banyaknya masalah yang terkait dengnan lingkungan hidup yang berkaitan dengan pembangunan. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup tekait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya. Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal -hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Abdurrahman. 1990. Pengantar Hukum Lingkungan, Citra Aditya Bakti. Bandung
Anwar, Chairul. 1995. Zona Ekonomi Eksklusif Di Dalam Hukum Internasional,. Sinar Grafika. Jakarta.
Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Universitas Sriwijaya Palembang,
Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.
Eggi Sudjana Riyanto. 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Hadjon, Philipus. M, et al. , 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. UGM Press. Yogyakarta
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan erkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan, Wahana Hijau, Yogyakarta
Kementrian Lingkungan Hidup RI. 2002. HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Sodikin. 2007.Penegakan hukum lingkungan: tinjauan atas undang-undang nomor 23 tahun 1997.Ed. rev. cet. 2 Djambatan .Jakarta.
Soemartono, Gatot R,1996.Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.. tentang Perlkindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.