Enceng Gondok (Eichornia crassipes)

Contoh satu spesies yang memiliki nilai penting (secara ekologis maupun ekonomis)

Enceng Gondok (Eichornia crassipes)

  1. A. Pendahuluan

Eceng gondok yang memiliki nama ilmiah Eichornia crassipes merupakan tumbuhan air dan lebih sering dianggap sebagai tumbuhan pengganggu perairan. Eceng gondok memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam tempo 3–4 bulan saja, eceng gondok mampu menutupi lebih dar 70% permukaan danau. Cepatnya pertumbuhan eceng gondok dan tingginya daya tahan hidup menjadikan tumbuhan ini sangat sulit diberantas. Pada beberapa negara, pemberantasan eceng gondok secara mekanik, kimia dan biologi tidak pernah memberikan hasil yang optimal. Ada juga hasil penelitian yang menunjukkan bahwa eceng gondok berpotensi menghilangkan air permukaan sampai 4 kali lipat jika dibandingkan dengan permukaan terbuka. Pertumbuhan populasi eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan ekosistem perairan dan tertutupnya sungai serta danau.
Selain sisi gelapnya, tumbuhan yang aslinya berasal dari Brazil ini juga ternyata memiliki sisi terangnya. Beberapa penelitian menunjukkan, eceng gondok dapat menetralisir logam berat yang terkandung dalam air. Pada beberapa daerah, eceng gondok bermanfaat sebagai bahan baku kerajinan tangan. Karena kandungan seratnya yang tinggi, eceng gondok bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Di Thailand, eceng gondok sudah menjadi komoditi petani, dibuat plot-plot seperti pencetakan sawah-sawah di Jawa. Di negara gajah putih ini, eceng gondok juga telah menjadi bahan baku industri kerajinan rakyat.

B.  Nilai Ekologis

  1. 1. Pengolah Limbah Domestik:
    Dari berbagai hasil penelitian, eceng gondok terbukti mampu menyerap zat kimia baik yang berasal dari limbah industri maupun rumah tangga (domestik). Karena kemampuannya itu, eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah kedua sumber tersebut (industri dan rumah tangga) secara biologi.

Salah satu gambaran untuk mengetahui kemampuan eceng gondok dalam mengelola limbah domestik adalah hasil penelitian Djaenudin (2006). Pada penelitian ini, air yang digunakan berasal dari pembuangan air limbah domestik Desa Tlogomas, Kotamadya Malang, Provinsi Jawa Timur. Air limbah ini ditambung dalam sebuah reaktor dengan volume 58,8 meter kubik, ketebalan dinding dan alas berbeton mencapai 20 cm. Reaktor ini dilengkapi dengan inlet (tempat masuknya air) dan inlet (tempat keluarnya air). Bagian dasar reaktor diisi dengan kerikil (berdiameter antara 3-4 mm) hingga terisi tiga perempat dari kedalaman reaktor. Eceng gondok ditanam seluas setengahnya dari luas permukaan reaktor. Lama penyimapanan air dalam reaktor adalah 3,17 hari.
Penelitian tersebut memperoleh hasil sebagai berikut: nilai TSS (total padatan terlarut) outlet rata-rata 180 mg/l, sudah di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 200 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan TSS 31,7. Nilai Total-P outlet rata-rata 0,8 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 0,1 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-P 42,64. Nilai Total-N outlet rata-rata 32,5 mg/l, masih di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 20 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan Total-N 52,13 Nilai COD outlet rata-rata 225 mg/l, masih berada di atas nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 100 mg/l. Nilai rata-rata efisiensi pengolahan COD 42,1. Nilai pH air limbah tidak mengalami perubahan secara berarti yaitu berkisar antar nilai 6 dan 8.

Penggantian tanaman sebaiknya dilakukan sebulan sekali. Meskipun hampir sebagian besar parameter yang diamati masih berada di atas baku mutu yang dipersyaratkan, eceng gondok telah mampu mengurangi kandungan zat-zat pencemar dalam perairan. Dengan demikian, untuk mengembalikan kualitas air, pengolahan secara biologi ini harus dilakukan secara berulang.

  1. 2. Penyerap Logam Berat

Dewasa ini, pencemaran logam berat merupakan salah satu permasalahan yang banyak dihadapi oleh ekosistem perairan. Umumnya, upaya penanganan pencemaran logam berat memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, eceng gondok menawarkan pemecahan masalah tersebut dengan biaya yang cukup murah. Beberapa logam berat yang sering mencemari ekosistem perairan diantaranya Fe, Mg, Mn, Pb, dan Ni.
Menurut Widyanto dan Suselo (1977), kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat tergantung pada beberapa hal, seperti jenis logam berat dan umur gulma. Penyerapan logam berat per satuan berat kering tersebut lebih tinggi pada umur muda daripada umur tua. Logam berat beracun yang dapat diserap oleh eceng gondok terhadap berat keringnya adalah Cd (1,35 mg/g), Hg (1,77 mg/g), dan Ni (1,16 mg/g) dengan larutan yang masing-masing mengandung logam berat sebesar 3 ppm. Muramoto dan Oki (1983) mengungkapkan, eceng gondok mampu menyerap logam berat Cd sebesar 1,24 mg/g; Pb sebesar 1,93 mg/g; dan Hg sebesar 0,98 mg/g terhadap berat keringnya yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung logam berat 1 ppm. Sementara itu, hasil percobaan Chigbo et al. (1980) menunjukkan, Hg dan As yang mampu diserap oleh logam berat masing-masing sebesar 2,23 dan 3,28 mg/g dari berat keringnya.
Berdasarkan bagian tanamannya, logam berat yang terserap lebih banyak berkumpul di akar daripada di bagian lainnya. Misalnya hasil penelitian Jana dan Das (2003) untuk penyerapan Cd. Pada bagian akar, konsentrasi Cd berkisar 125 – 152 mikrogram per gram berat kering akar, dan pada bagian daun sebesar 21 – 63 mikrogram per gram berat kering daun.

Selanjutnya, eceng gondok juga ternyata mampu menyerap uranium yang terlarut dalam perairan. Menurut Yatim (1991), uranium yang diserap dan terakumulasi pada akar sekitar 40 – 60%, dan dapat terlepas pada pembilasan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan, tingkat penyerapan uranium oleh eceng gondok dipengaruhi pH, kadar nutrisi larutan dan berat awal eceng gondok. Pada pH yang lebih rendah, penyerapan uranium oleh eceng gondok lebih banyak karena pada kondisi pH ini uranium terdapat dalam bentuk ion uranil yang stabil dan mempunyai ukuran ion yang lebih kecil.
Uranium juga lebih banyak diserap oleh eceng gondok yang memiliki massa lebih besar. Ini karena eceng gondok yang lebih berat mempunyai permukaan akar yang lebih luas. Akan tetapi, pada larutan nutrisi yang lebih pekat, penyerapan uranium oleh eceng gondok cenderung berkurang. Ini karena adanya peningkatan kompetisi antara penyerapan uranium dengan penyerapan unsur nutrisi oleh tanaman. Pada larutan Hoagland 10% dengan pH 5 dan kandungan uranium 8 – 12 ppm, kapisitas penyerapan uranium dalam kondisi maksimal, yakni berkisar antara 500 – 600 µg per gram berat kering eceng gondok setelah 10 – 12 hari. Pada kondisi ini, laju pertumbuhan eceng gondok sekitar 3% berat kering per hari. Pada larutan limbah, kapasitas eceng gondok menyerap uranium sekitar 200 µg per gram berat kering tanaman setelah 8 hari laju, dan laju pertumbuhannya mencapai 2 % berat kering per hari.
Pada populasi 1 ha, kapasitas eceng gondok menyerap uranium (dengan tetap memperhatikan pertumbuhannya) sekitar 2,16 kg (pada larutan Hoagland) dan 0,98 kg (pada larutan limbah). Dengan memperhitungkan fraksi uranium yang terbilas, pengurangan uranium dari larutan Hoagland dan limbah masing-masing sekitar 3, 16 dan 1,76 kg. Dengan demikian, eceng gondok mempunyai potensi dimanfaatkan sebagai kolektor uranium.

C.  Nilai ekonomis

  1. 1. Bahan Baku Pulp dan Kertas

Di saat sedang menurunnya pasokan kayu tropis dan meningkatnya kerusakan hutan, eceng gondok dapat dijadikan sebagai penyedia bahan baku pulp yang bernilai ekonomis. Menurut Patt (1992), proses pulping kimia masih dianggap menguntungkan secara ekonomis apabila nilai rendemen tersaring di atas 40% dan bilangan Kappa dibawah 25. Hasil penelitian Supriyanto dan Muladi (1999) menunjukkan, rendemen tersaring pulp eceng gondok sekitar 44,28% dan bilangan Kappa sebesar 16,55. Sementara itu, sifat fisika dan mekanika kertas yang dihasilkan pada nilai interpolasi derajat giling 40ºSR meliputi: kerapatan kertas sebesar 0,993%, kekuatan tarik sebesar 4060 m, kekuatan retak sebesar 338 kPa dan kekuatan sobek sebesar 346 mN. Berdasarkan data tersebut, maka kualitas pulp dan kertas dari eceng gondok menurut standar tergolong dalam kelas kualita II. Dengan demikian, eceng gondok memiliki prospek sebagai bahan baku kertas yang bernilai ekonomis cukup tinggi.

  1. 2. Bahan Baku Pupuk Organik

Dalam industri pupuk alternatif, eceng gondok juga dapat dijadikan sebagai bahan baku pupuk organik. Ini karena mengandung N, P, K, dan bahan organik yang cukup tinggi. Daerah yang sudah mengembangkan pabrik pupuk berbahanbaku eceng gondok adalah Kabupaten Lamongan. Ketika pertama kali berproduksi ditahun 2001 pabrik pupuk eceng gondok mempunyai kapasitas produksi 5-7 ton sehari. Kini setelah ada penambahan mesin baru maka kapasitas produksi ditingkatkan hingga mencapai 15 ton sehari. Pupuk organik yang dihasilkan dari pabrik ini diberi nama Pupuk Maharani.
Untuk mendapatkan pupuk organik yang berstandar internasional, pupuk ini diberi campuran bahan lainnya. Bahan tersebut adalah kotoran binatang (ayam, sapi atau lembu) serta ramuan enrichment yang diperoleh dari pengkomposan. Enrichment adalah sebuah formula khusus agar kadar standar organiknya tercapai. Berdasarkan hasil uji laboratorium, pupuk ini memiliki kandungan unsur hara N sebesar 1,86%; P205 sebesar 1,2%; K20 sebesar 0,7%; C/N ratio sebesar 6,18%; bahan organik seebsar 25,16% serta C organik:19,81. Dengan kandungan seperti ini, pupuk dari eceng gondok mampu menggantikan pupuk anorganik,dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 50% dari dosisnya. Sebagai bahan perbandingan, Winarno (1993) menyebutkan, eceng gondok dalam keadaan segar memiliki komposisi bahan organic 36,59%, C organic 21,23% N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016%.
Penggunaan pupuk organik berbahan baku eceng gondok memberikan hasil yang sangat menggembirakan. Anakan (percabangan) dari tiap batang lebih banyak dibandingkan awalnya. Dengan tambahan pupuk Maharani, diperoleh 18-20 anakan padi. Sedangkan dengan urea, hanya diperoleh 14-16 anakan padi. Tanaman yang diberi tambahan pupuk organik juga memiliki warna daun merata hijau. Sementara itu, tanaman yang diberi urea, awalnya memiliki daun berwarna hijau tapi lama kelamaan kekuningan. Tidak hanya itu, tanaman padi yang diberi tambahan pupuk organik ini memiliki batang yang lebih kuat dari tiupan angin dan tampilan fisiknya lebih tegak.

Hasil yang memuaskan tidak hanya berupa tampilan fisik, melainkan juga berupa produksi dan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan pupuk organik telah meningkatkan produksi gabah rata-rata 500 kg tiap hektarnya. Dari segi biaya, penggunaan pupuk organik menghasilkan efisiensi pupuk Rp. 265.000/ha/panen. Sebab, dengan menggunakan pupuk anorganik, rata-rata biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 900.000 per hektar. Sedangkan dengan tambahan pupuk organik, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 635.000 per hektar. Komposisi pemberian pupuk tiap 1 hektare sawah padi terdiri atas 500 kg pupuk organik dan 150 kg urea, tanpa tambahan KCL (Siagian, 2006).

  1. 3. Sumber Pakan Ternak dan Ikan

Sebagaimana tanaman lainnya, eceng gondok dapat dijadikan pakan ternak. Karena tingginya kandungan serat kasar, eceng gondok harus diolah terlebih dahulu. Salah satu teknik pengolahannya adalah melalui teknologi fermentasi. Pada proses ini, eceng gondok diolah menjadi tepung, kemudian difermentasi secara padat dengan menggunakan campuran mineral dan mikroba Trichoderma harzianum yang dilakukan selama 4 hari pada suhu ruang.
Proses fermentasi ini mampu meningkatkan nilai gizi yang terkandung dalam eceng gondok. Protein kasar meningkat sebesar 61,81% (6,31 ke 10,21%) dan serat kasar turun 18% (dari 26,61 ke 21,82%). Pada saat dikonsumsikan pada ayam, eceng gondok fermentasi tidak menimbulkan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap konsumsi, bobot hidup, konversi pakan, persentase karkas, lemak abdomen dan bobot organ pencernaan (proventrikulus dan ventrikulus), meskipun terdapat kecendrungan penurunan nilai gizi pada peningkatan produk fermentasi eceng gondok. Karena itu, eceng gondok fermentasi dapat dicampurkan sampai tingkat 15% dalam ransum ayam pedaging (Mahmilia, 2005).
Pada penelitian lain, daun eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai pakan pelet tepung untuk budidaya ikan, meski tidak sebaik pelet komersil. Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis nila. Pemeliharaan dilakukan selama 8 minggu dengan perlakuan pellet bertepung daun eceng gondok 10%; 20%; 30%; dan pembanding (tanpa campuran pelet tepung). Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian pellet betepung daun eceng gondok 10% memberikan pengaruh terbaik bagi pertumbuhan nisbi (193,25%), nilai efisiensi pakan (40,31%). Akan tetapi, pemberian pellet komersil sebagai pembanding masih lebih baik dibandingkan dengan pemberian pellet bertepung daun eceng gondok, baik pertumbuhan nisbi maupun nilai efisiensi pakan (Timburas, 2000).

  1. 4. Bahan Baku Kerajinan Tangan

Di tangan orang-orang kreatif, membludaknya populasi eceng gondok bukanlah sebuah musibah melainkan sebuah anugrah. Di tangan orang-orang kreatif inilah, eceng gondok dapat disulap menjadi benda-benda yang sangat menarik dan berdayaguna, seperti sandal jepit, tas cantik, kursi, dan lain-lain.
Pemandangan tangan-tangan kreatif dalam mengubah eceng gondok bisa disaksikan di Dusun Pengaron, Desa Pengumbulandi Tikungan, Kabupaten Lamongan. Menjelang matahari terbenam, di pinggir jendela sebagian besar rumah di sana, jari-jari lentik perempuan muda dengan lincah menganyam helai demi helai serat eceng gondok. Dengan ulet dan terampil, mereka menyulap helayan eceng gondok kering menjadi sebuah tas. Dalam sehari, rata-rata setiap orangnya mampu menyelesaikan lima tas anyaman. Setiap satu tas ia mendapat upah Rp 2.250 hingga 4.000. Dengan demikian, penghasilannya mencapai Rp 500.000 per bulannya.
Tas-tas yang sudah tersebut ditampung pada seorang pengusaha. Dalam sebulan, tas yang terkumpul bisa mencapai 1.500-2.000 tas. Kemudian, tas-tas tersebut dikirim ke department store terkenal seperti, Sarinah Thamrin di Jakarta, berbagai art shop di Bali dan Surabaya. Tidak hanya itu, tas-tas itu juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Taiwan dan Malaysia. Setiap bulannya, sekitar 1.600 tas ke dua negara itu dan umumnya dijual dengan harga minimal Rp 15.000.
Tidak diragukan lagi, eceng gondok berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat. Tidak hanya pengrajin, tambahan pendapatan ini juga dapat dirasakan oleh para pengumpul eceng gondok dari rawa-rawa, sungai, atau waduk. Misalnya di Kabupaten Simalungun, eceng gondok basah dihargai Rp 200 per kilogram dan eceng gondok kering Rp 6.000 per kilogram (Malau, 2006). Selain dijadikan tas, di Simalungun ini, eceng gondok dijadikan juga sebagai sandal, baki, topi, dan barang-barang lainnya, kemudian dia jual di hotel-hotel dan lokasi pariwisata Prapat.
Kisah sukses pengrajin eceng gondok lainnya yang patut ditiru adalah bernama Lita. Dia seorang pengusaha wanita dari Surabaya. Karena berkreatif memanfaatkan produk yang ramah lingkungan itu, pada tahun 2000, dia pernah mendapat hadiah kalpataru lingkungan. Pada awal usahanya, dia hanya membuat aksesoris rumah seperti, tempat koran, tempat pinsil, tempat sampah, tas, tempat tisu, dan souvenir kecil lainya. Pada perkembangan berikutnya, wanita yang telah memiliki 150 karyawan ini mulai mengembangkan bentuk meubel seperti sofa, meja, dan produk lainnya. Karena bentuknya yang unik, produk-produk tersebut banyak diminati dan diekspor ke Jepang, Italia, Kuala Lumpur, Belanda, dan Eropa dengan harga yang cukup tinggi per unitnya. Sofa, misalnya, dapat dihargai Rp 4 – 15 juta per unitnya.

Kesimpulan
Jelas sudah, enceng gondok memiliki banyak manfaat, baik manfaat ekologi dan manfaat ekonomi. Dari sisi ekologi, eceng gondok mampu meningkatkan kualitas air yang tercemar. Berkat eceng gondok, logam berat dan polutan lainnya bisa diserap dari ekosistem perairan. Dari sisi ekonomi, eceng gondok mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Di tangan orang-orang kreatif, tumbuhan ini bisa berubah menjadi barang-barang yang bermanfaat (seperti sandal, tas, bahkan sofa) sehingga bernilai ekonomi tinggi. Akhirulkata, eceng gondok bukanlah musibah, melainkan anugrah.

Sumber : http://katabermakna.blogspot.com/2008/05/agar-eceng-gondok-tidak-bikin-gondok.html

PENEGAKKAN HUKUM LINGKUNGAN DI ERA OTONOMI DAERAH

PENEGAKKAN HUKUM LINGKUNGAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh Wahid Hamdan

( Tugas MK. Hukum Lingkungan, Porgram Magister Ilmu Lingkungan, Unila)

  1. I. PENDAHULUAN

Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu sendiri. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan.

Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara lingkungan dan manusia saling mempunyai kaitan yang erat. Ada kalanya manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, sehingga aktivitasnya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya.

Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyakd itentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.

Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga  menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup.

Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu Lingkungan (BML).  Pada pasal 15 Undang -Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan : bahwa Baku Mutu Lingkungan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku Mutu Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Pada tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka hal tersebut depat diklarifikasikan sebagai suatu tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum ke pengadilan.  Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada.

Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup dan penegakkan hukum lingkungan di era otonomi daerah.

  1. II. PERUMUSAN PERMASALAHAN

Adapun perumusan masalah pada tulisan ini adalah :

“Bagaimana kondisi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada era otonomi daerah dan penegakkan hukum lingkungan pada era otonomi daerah.?”.

  1. III. TUJUAN PENULISAN MAKALAH

Tujuan dari penulisan ini adalah :

“Untuk menjelaskan perkembangan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta penegakkan hukum  lingkungan pada era otonomi daerah ”.

  1. IV. PEMBAHASAN

A. Sekilas Sejarah Hukum Lingkungan di Indonesia

Sejarah perkembangan hukum lingkungan di Indonesia terlihat pada peraturan perundang-undangan yang ada sejak zaman penjajahan Belanda, hingga sekarang ini. Adapun perkembangannya dapat dibagi dalam tiga zaman, yaitu:

  1. 1. Zaman Pra Kemerdekaan

  1. a. Zaman Hindia Belanda

Untuk pertama kali, aturan mengenai lingkungan hidup adalah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisschherij, dan Sponsenvisscherijordonanntie (Stb, 1916 No. 157), dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916. Dua ordonansi tersebut dalam rangka mengatur jenis-jenis mutiara dan bunga karang yang ada di  ilayah Hindia Belanda, dengan jarak tiga mil laut dari pantai-pantai Hindia Belanda.

Pada tanggal 26 Mei 1920 dengan Penetapan Gubernur Jenderal No. 86 telah diterbitkan Visscherijordonanntie (Stb. 1920 No. 396). Ordonansi ini mengatur perikanan untuk melindungi keadaan ikan, dan yang termasuk keadaan ikan meliputi pula telur ikan, benih ikan, dan kerang. Ordonansi lain di bidang perikanan adalah Kustvisscherijordonnatie (stb. 1927 No. 144), berlaku  sejak tanggal 1 September 1927.

Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah  hinderordonnatie (Stb. 1926 No. 266, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stb 1940 No, 450),  yaitu Ordonansi Gangguan. Di dalam Pasal 1 Hinderordonanntie ini ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha, dan ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini.  ordonansi lain di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingordonnatie (Stb. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan yang berdekatan dengan ordonansi ini adalah ordonansi tentang  perburuan, yaitu Jachtordonnatie (Stb. 1940 No. 733), yang berlaku laku untuk Jawa dan Madura sejak 1 Juli 1940. Jachtordonnantie 1940 ini mencabut Jachtordonnatie Java en Madoera 1931 (Stb. 1931 No. 133). Di bidang perusahaan yaitu Bedriffsreglementeringsordonantie 1934 (Stb 1938 No. 86 jo. Stb. 1948 No. 224).

Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurbeschermingsor- ordonnantie 1941 (Stb. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yailu Natuurmonumentenen en Wildreservatenordonnatie 1932 (Sih. 1932 No. 17). Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia), yang berlaku terhadaphadap suaka-suaka alam dengan perbedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.

Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsvormingsordonanntie (Stb. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Oleh karena Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, maka ordonansi tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda.

  1. b. Zaman Jepang

Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang- ndangan di  idang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S. Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gubernur Jenderal Jepang (Gunseikan). Peraturan perundangundangan di waktu pendudukan Jepang itu terutama ditujukan untuk memperkuat kedudukan penguasa Jepang pada saat itu. Kayu aghata, alba, dan balsam diperkirakan merupakan bahan baku untuk membuat pesawat peluncur yang digunakan untuk mengangkut logistik tentara Jepang.

  1. 2. Zaman Kemerdekaan (termasuk di Era Otonomi Daerah)

Berbagai peraturan perundang-undangan yang diundangkan sesudah proklamasi kemerdekaan hanya mengatur satu segi lingkungan hidup, dan peraturan perundang-undangan tersebut bersifat parsial. Usaha penyusunan suatu konsep rancangan undang-undang yang mengatur lingkungan hidup yang bersifat komprehensif integral dimulai pada tahun 1972, yaitu usaha yang untuk pertama kali dirintis oleh Panitia Perumus dan Rencana Kerja Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini dibentuk dengan Keputusan Presiden RI No. 60 Tahun 1972 dan bertugas menyusun, membuat inventarisasi dan rencana kerja Pemerintah di bidang pengembangan lingkungan hidup.

Konsep rancangan yang disusun pada waktu itu berjudul “Rancangan Undang- ndang Tentang Pokok – pokok Pengembangan Lingkungan Hidup”. Kegiatan inventarisasi yang dilakukan sampai Oktober 1976 mencatat 23 undang-undang termasuk ordonansi, 39 Peraturan Pemerintah, 5 Keputusan Presiden, 2 Instruksi Presiden, 46 Peraturan/Keputusan Menteri, 4 Keputusan Direktur Jenderal, dan 31 Peraturan Daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikelompokkan dalam bidang kehutanan, pengairan, pertanian, pertambangan, perindustrian, kependudukan/ permukiman, kesehatan, radiasi, kehewanan/perikanan.

.

Dari hasil inventarisasi tersebut, maka penyusunan rancangan awal perundang-ndangan tentang lingkungan hidup pada tahun 1976 menghadapi kenyataan bahwa:

1.  Segi-segi lingkungan hidup telah diatur dalam berbagai peraturan perundang- ndangan yang telah berlaku

2. Peraturan perundang-undangan tersebut pada dasarnya berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam.

3. Peraturan perundang-undangan tersebut bersifat parsial-sektoral.

Dengan demikian, rintisan usaha penyusunan suatu konsep rancangan undang – undang tentang lingkungan hidup yang bersifat holistik pada waktu itu menghadapi masalah yaitu bagaimana memasukan wawasan lingkungan ke dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Sebenarnya ada dua alternative yang dapat ditempuh, yaitu:

  1. Memperbaharui setiap undang-undang denganmemasukkan wawasan lingkungan yang telah diperbaharui tersebut kemudian disusun peraturan pelaksanaannya.
  2. Disusun satu undang-undang baru yang berwawasan lingkungan sebagai dasar perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sekaligus sebagai dasar penetapan peraturan pelaksanaan untuk masing-masing segi lingkungan hidup. Undang-undang yang demikian bersifat sebagai payung bagi peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup

.

Dari kedua alternatif tersebut, maka alternatif kedua yang kemudian dipilih Mengingat bahwa materi muatan undang-undang tentang lingkungan hidup adalah demikian luasnya, maka tidaklah mungkin untuk mengaturnya secara terperinci dalam satu undang-undang. Oleh karena itu, dapat ditempuh pengaturan ketentuan-ketentuan pokok yang memuat asas-asas dan prinsip-prinsipnya saja. Dengan cara demikian, undang-undang tentang lingkungan hidup merupakan ketentuan payung (umbrella act). Pemilihan alternatif ini dilandasi suatu kesadaran bahwa implementasi undang-undang tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan penuh tanggung jawab agar tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara nasional baru terlaksana pada tahun 1982 yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982. Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 sebagai langkah pertama, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN) mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencegahan Pencemaran pada tahun 1971. Sebagai persiapan menjelang Konferensi Stockholm yang menyelenggarakan sebuah seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” di Bandung yang berlangsung dari tanggal 15 sampai dengan 18 Mei 1972.

Tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental yang disebut Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1972. Panitia tersebut diketuai oleh Men PAN/Wakil Ketua BAPPENAS, sedangkan sekretariatnya ditempatkan di LIPI. Panitia ini berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan dalam wujud Bab 4 dalam Repelita berdasarkan butir 10 Pendahuluan BAB III GBHN 1973-1978. Dengan Keputusan Presiden No, 27 Tahun 1975 telah dibentuk Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokok menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa sekarang maupun di masa mendatang, dengan maksud menilai implikasi sosial, ekonomi dan politik dari pola-pola tersebut, untuk dijadikan dasar penentuan kebijakan pemanfaatan serta pengamannya sebagai salah satu sumber daya pembangunan nasional. GBHN yang ditentukan oleh MPR tahun 1978 itu menggariskan langkah untuk pembinaan pengelolaan lingkungan hidup.

Aparatur pemerintah dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup telah diangkat untuk pertama kalinya dalam kabinet, yaitu dalam Kabinet Pembangunan III, seorang menteri yang mengkoordinasikan aparatur pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menteri tersebut adalah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1978

Selanjutnya baru pada tahun 1982 adanya peraturan yang mengatur struktur dan fungsi penataan lingkungan. Peraturan yang mengatur tersebut adalah Undang – ndang Nomor 4 Tahun 1982, vang disahkan pada tanggal 11 Maret 1982 tentang Undang-undang Lingkungan Hidup yang disingkat UULH

Dipandang dari sudut sifatnya, maka peraturan perundang-undangan sampai dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 merupakan produk – produk hukum yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan (use-oriented law). Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, dimulailah tahap baru, yaitu tahap pengembangan peraturan perundang – undangan yang diarahkan kepada produk-produk hukum yang berorientasi kepada lingkungan itu sendiri (environmentoriented law). Tahap berikutnya keluarlah berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup, yang berorientasi pada lingkungan, dengan sifat dan wataknya lebih mengikuti sifat dan hakikat lingkungan sendiri yang bersifat ekologis Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menandakan awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integrasi dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diundangkannya undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga masyarakat tidak hanya sekadar berperan serta, tetapi juga mampu berperan serta secara nyata.

Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia yang memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982. Pada tahun 1997 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 ini memuat norma-norma hukum lingkungan hidup. Selain itu, undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundangundangan mengenai perairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain. Adapun pertimbangan penetapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yang disahkan tanggal 19 September 1997 sebagai ganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 adalah:

a. bahwa lingkungan Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan bagi kehidupan dalam segala aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan nusantara;

b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan untuk mencari kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;

c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;

d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup;

e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa, sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;

f.   Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu ditetapkan Undang – undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 memuat norma – norma hukum lingkungan, yang menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan lingkungan hidup. Oleh karena materi cakupan lingkungan hidup sangat luas yang meliputi ruang angkasa, perut bumi dan dasar laut, juga meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, dan sumber daya buatan. Dengan demikian, materi lingkungan hidup ini tidak mungkin diatur dalam satu undang-undang secara lengkap, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa.

Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup saja, sehingga undang-undang ini berfungsi sebagai undang-undang payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup, dan untuk penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada maupun yang akan ada.

Selanjutnya pada era otonomi daerah lahir Undang-Undang Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan Hidup (PPLH) no 32 tahun 2009 yang merupakan pengganti UU LH no 23 tahun 1997.  UU PPLH ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

  1. A. Hukum Lingkungan Menempati Titik Silang Bidang Hukum Lainnya

Hukum lingkungan yang merupakan bidang ilmu baru dalam dunia ilmu hukum dalam perkembangannya, hukum lingkungan termasuk ilmu hukum yang tidak berjenis kelamin (maksudnya tidak termasuk hukum publik atau hukum privat). Oleh karena itu, hukum lingkungan dapat menempati titik silang bidang hukum lainnya yang sudah ada sebelumnya, baik hukum publik maupun hukum privat Maksudnya adalah hukum lingkungan berkaitan dengan bidang hukum pidana, hukum administrasi, hukum tata negara, hukum internasional, hukum pajak, hukum agraria, hukum Islam, hukum perdata, dan lain-lain, sehingga penegakkan hukumnya juga menempati titik silang bidang hukum lainnya. Dalam lapangan hukum pidana terdapat beberapa ketentuan pidana yang tercantum dalam beberapa perundang-undangan lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya ketentuan pidana bagi pelanggar lingkungan hidup.

Dalam hukum pidana terutama ditunjukkan pada suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, adapun perbuatan yang diancam dengan pidana menurut perundang-undangan lingkungan adalah perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan. Dua perbuatan tersebut, memang diancam pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana yang ditentukan dalam perundang-undangan lingkungan.

Di bidang hukum administrasi menunjukkan bahwa bagian terbesar hukum lingkungan merupakan hukum administrasi. Aspek hukum administrasi ini tampak dengan peran pemerintah dalam memberikan perizinan untuk mengelola sumber daya alam dan melakukan langkah-langkah penyelamatan lingkungan apabila ketentuan perizinan yang disyaratkan dilanggar. Hukum lingkungan yang menempati bidang hukum administrasi lebih lanjut dibahas pada berikutnya Dalam lapangan hukum internasional, misalnya masalah pencemaran dan perusakan lingkungan tidak hanya menjadi masalah bangsa Indonesia saja, tetapi sudah menjadi masalah antar negara, regional dan global. Pencemaran dan perusakan lingkungan juga semakin meluas, kadang-kadang melintasi batas-batas negara dalam bentuk pencemaran air sungai, emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut dan sebagainya. Sebagai contoh kebakaran hutan di Sumatera atau Kalimantan dengan mudah asapnya merembet ke Malaysia, Singapura, Philipina, Brunei dan juga sebaliknya. Semua ini memerlukan pengaturan khusus yang bersifat supranasional, sehingga setiap negara untuk turut serta menanggulanginya dengan konferensi atau konvensi internasional.

Hukum lingkungan juga menempati hukum pajak, karena masalah pencemaran dan perusakan lingkungan dapat dikenakan pajak, sebagai pengganti beban pencemaran dan perusakan lingkungan. Jadi, ada ketentuan perpajakan yang mengatur lingkungan dalam rangka untuk mengurangi dan mencegah pencemaran dan perusakan lingkungan. Begitu juga dengan masalah-masalah ketatanegaraan, bahwa hukum lingkungan tidak kurang pentingnya dalam masalah-masalah ketatanegaraan, karena berkaitan dengan pengelolaan negara yang sesuai dengan alam lingkungan Indonesia. Berkaitan dengan hukum tata negara, juga aspek hukum agraria, maka kaitan dengan UUD 1945 dan tata negara, dapat merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960, termasuk di dalamnya ruang angkasa. Dengan demikian, pemberian hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan lain-lain harus juga memperhatikan kepentingan lingkungan. Sebagai contoh, apabila tanah dirusak atau dipergunakan yang mengakibatkan tercemar atau rusaknya lingkungan, maka hak atas tanah tersebut dapat dicabut.

Hukum lingkungan yang menempati hukum Islam dan hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an, al- Hadits dan Ijtihad memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai masalah lingkungan hidup. Banyak ayat dan hadits di samping hasil ijtihad para ulama yang menjelaskan masalah sekitar lingkungan hidup. Islam yang merupakan agama rakhmatan lil ‘alamin menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup bagi kehidupan umat manusia di muka bumi. Islam dengan praktek rakhmatan lil ‘alamin menjawab tantangan global terhadap lingkungan hidup dengan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Hukum lingkungan yang menempati hukum perdata berkaitan dengan masalah – masalah kerugian akibat perusakan dan pencemaran, sehingga menimbulkan adanya tuntutan ganti kerugian, perbuatan melanggar hukum dan penyelesaian sengketanya baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan.

  1. B. Pembangunan Nasional dan Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undang – undang Dasar 1945. Dalam melaksanakan pembangunan nasional perlu memperhatikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan secara seimbang, hal ini sesuai dengan hasil Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup.

Bagi Indonesia, mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang sehingga, dalam penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional. Namun demikian, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar bagi pembangunan, di lain pihak keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan dan begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup.

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6 kewenangan terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.

Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan yang berpotensi merusak bentang alam dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan lindung. Kasus-kasus pencemaran lingkungan juga cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan industrialisasi yang tidak diiringi dengan 3 penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan. Sungai-sungai di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah padat, pupuk maupun pestisida. Masalah pencemaran ini disebabkan masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap Perlu segera didorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dan menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang

Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development – WSSD) di Johannesburg Tahun 2002, Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan dating dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilarpilar yang saling tergantung dan memperkuat satu sama lain.

Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Konsep ini mengandung dua unsur :

v     Yang pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua negara.

v     Yang kedua adalah keterbatasan. Penguasaan teknologi dan organisasi sosial harus memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.

Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari Pembukaan Undang –  ndang Dasar 1945 yaitu terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; tercapainya kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa yang cerdas; dan dapat berperannya bangsa Indonesia dalam melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, visi pembangunan yang kita anut adalah pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu fungsi lingkungan hidup perlu terlestarikan.

Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan ketiga pilar pembangunan yaitu bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Dalam penerapan prinsip Pembangunan Berkelanjutan tersebut pada Pembangunan Nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk memadukan tiga pilar pembangunan secara proposional. Sejalan dengan itu telah diupayakan penyusunan Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan melalui serangkaian pertemuan yang diikuti oleh berbagai pihak. Konsep pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup.

D. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh system pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hokum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk system pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.

1.   Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:

  1. Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup
  2. Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
  3. Membangun hubungan interdependensi antar daerah
  4. Menetapkan pendekatan kewilayahan.

Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :

  1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.

  1. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.

Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif

  1. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.

Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.

  1. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.

  1. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.

Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

2. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Sisi lemah dalam  elaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hokum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi.

  1. Regulasi Perda tentang Lingkungan.
  2. Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
  3. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
  4. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
  5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
  6. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
  7. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
  8. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
  9. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain

Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan. Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982. Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang – undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya. Undang – undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang -undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non –departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang Kehutanan, UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur.

Selanjutnya keberadaan UU PLH no 23 tahun 1997 dirasa tidak cukup mampu menyelesaiakan persoalan kerusakan lingkungan, oleh karenanhya pada tahun 2009, setelah melalui proses yang cukup panjang disahkan UU Perlinfdungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) no 32 tahun 2009 sebagai pengganti UU PLH 23 tahun 1997. Terhadap UU PPLH banyak yang bertanya: apa yang baru dengan Undang-undang tersebut? Terhadap hal ini tentu saja tidak dapat dijawab singkat tetapi juga dapat diberi “kerling ilmiah” sederhana. Dari segi judulnya, jelas sudah berubah dari UUPLH (1997) menjadi UU PPLH (2009). UU PPLH menggunakan judul perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Judul ini disepakati oleh DPR RI dan Pemerintah untuk dibaca dalam satu tarikan nafas.

Komitmen kedua lembaga pembentuk UU PPLH menggarisbawahi bahwa kata perlindungan memiliki arti tekan yang kuat sebagai orientasi utama pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itulah, kritik teoritik bahwa dalam kata “environmental management” sebenarnya sudah ada unsur perlindungan, sehingga kata tersebut tidak perlu ditambahkan tidaklah ditampik melainkan justru dilekatkan dan ditonjolkan untuk membuktikan perlindungan adalah masalah penting yang harus mendapatkan daya tekan. Secara seloroh saya sendiri memberi argumentasi bahwa penambahan kata perlindungan justru untuk menegaskan posisi kreatif pengelolaan lingkungan yang diagendakan bagi kepentingan perlindungan, sekaligus nama tersebut dapat dikenal sebagai “nama baptis” atau “nama naik haji”. Ibaratnya UUPLH setelah dikaji untuk direvisi, kemudian dilakukan perombakan pembaruan hukum, ibaratnya sedang “naik haji” yang akhirnya mendapat julukan nama baru sebagai hasil “ritual teologis yuridis” dengan nama perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Substansi pengelolaan lingkungan hidup tetap eksis dan menjadi ruh manajemen lingkungan di Indonesia tetapi dengan tarikan hakikiyah awal “perlindungan”. Dengan demikian, kata “perlindungan dan pengelolaan” lingkungan hidup dipersandingkan dalam arakan yang sama dengan tarikan desah yang senafas.

Pembaruan yang ada dalam UU PPLH sangat banyak. Peneguhan hak konstitusional atas lingkungan berdasarkan amanat UUD 1945 dan dinamika otonomi daerah telah menjadi landasan konsiderasi yang penting dan mengawali pembentukan UU PPLH. Dalam Penjelasan Umum menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Selain itu, Undang-Undang ini menurut Penjelasan Umumnya juga mengatur:

  1. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
  2. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
  3. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
  4. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen:
    1. kajian lingkungan hidup strategis,
    2. tata ruang,
    3. baku mutu lingkungan hidup,
    4. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
    5. amdal,
    6. upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup,
    7. perizinan,
    8. instrumen ekonomi lingkungan hidup,
    9. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
    10. anggaran berbasis lingkungan hidup,
    11. analisis risiko lingkungan hidup, dan
    12. instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
    13. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
    14. pendayagunaan pendekatan ekosistem;
    15. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
    16. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi,  dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
    17. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
    18. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil  lingkungan hidup.

Selanjutnya, Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.

Akankah dengan keterangan eksplanatif yang terdapat dalam UU PPLH, Indonesia akan memiliki “KLH Plus” alias KLH yang memiliki otoritas penuh melindungi dan mengelolaan lingkungan hidup secara nyata. Pihak sektoral tentu saja secara departemental harus dapat memahami atas terjadinya pergeseran kewenangan yang besar kepada KLH. Posisi hukum KLH jelas bertambah dan tentu akan sedikit mengurangi kewenangan sektor. Peristiwa ini selalu dialami negara-negara maju yang memiliki niatan besar bagi perbaikan nasib lingkungan hidupnya. Pergeseran lempengan kekuasaan selalu dapat terjadi dengan menjadikan kebijakan lingkungan sebagai episentrum pembangunan suatu bangsa. Pergeseran tersebut tentu saja jangan sampai mengakibatkan “gempa kekuasaan”. Apalagi nanti harus ada KLHS, RPPLH, Izin lingkungan, maupun penegakan hukum lingkungan terpadu, semuanya memberikan harapan yang optimistik bahwa Indonesia akan memiliki kualitas ligkungan yang lebih baik. Bisakah? Sejarah akan menguji kesungguhan kemitmen kita bersama untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan nusantara. Saatnya kini mensosialisasikan, melaksanakan dan menegakkan UU PPLH untuk bertindak nyata melindungi dan mengelola lingkungan.

  1. E. Potret Lingkungan Hidup di daerah

Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hokum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut.

1). Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain

2). Tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain

3). Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.

4). Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan  ingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup

5). Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.

6). Lemahnya implementasi paraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.

7). Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum.

8). Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.

9). Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerahdaerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.

  1. V. PENUTUP

Begitu banyaknya masalah yang terkait dengnan lingkungan hidup yang berkaitan dengan pembangunan. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan yang kurang   memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup tekait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya. Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal -hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.

DAFTAR BACAAN

Abdurrahman. 1990. Pengantar Hukum Lingkungan, Citra Aditya Bakti. Bandung

Anwar, Chairul. 1995. Zona Ekonomi Eksklusif Di Dalam Hukum Internasional,. Sinar Grafika. Jakarta.

Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Universitas Sriwijaya Palembang,

Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.

Eggi Sudjana Riyanto. 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Hadjon, Philipus. M, et al. , 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. UGM Press. Yogyakarta

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan  erkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan, Wahana Hijau, Yogyakarta

Kementrian Lingkungan Hidup RI. 2002. HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan  Hidup. Jakarta.

Sodikin. 2007.Penegakan hukum lingkungan: tinjauan atas undang-undang nomor 23 tahun 1997.Ed. rev. cet. 2 Djambatan .Jakarta.

Soemartono, Gatot R,1996.Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.. tentang Perlkindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Perbedaan antara UUNRI No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) No 32 Tahun 2009

Perbedaan antara UUNRI No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) No 32 Tahun 2009

( Tugas MK. Hukum Lingkungan)

Oleh : Wahid Hamdan (NPM : 0920011028)

I.  PENDAHULUAN

Lingkungan hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari pada-Nya dan wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri

Masalah lingkungan hidup dewasa ini timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masalah hukum lingkungan dalam periode beberapa dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan sumber pengkajian yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun internasional, karena dapat dikatakan Ia sebagai kekuatan yang mendesak untuk mengatur kehidupan umat manusia dalam kaitannya dengan kebutuhan sumber daya alam, dengan tetap menjaga kelanjutan dan kelestarian itu sendiri.

Dua hal yang paling essensial dalam kaitannya dengan masalah pengelolaan lingkungan hidup, adalah timbulnya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Nurdu’a; Sudharsono, 1991:7). Secara Yuridis formal kebijaksanaan umum tentang lingkungan hidup di Indonesia telah di tuangkan dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, yang sejak tanggal 19 September 1997 telah diundangkan. Undang-Uundang baru sebagai penggantinya yaitu Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang merupakan ketentuan Undang-Undang paying terhadap semua bentuk peraturan-peraturan mengenai masalah di bidang lingkungan hidup. Banyak prinsip ataupun azas yang terkandung dalam U.U.P.L.H tersebut, sangat baik untuk tujuan perlindungan terhadap lingkungan hidup beserta segenap isinya. Namun demikian untuk penerapannya masih perlu di tindak lanjuti dengan berbagai peraturan pelaksana agar dapat beroperasi sebagaimana yang diharapkan.

Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin parah. Hal ini merupakan dampak dari pola pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tak bertanggung jawab membuat kondisi semakin memprihatinkan. Hampir setiap hari berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan hidup mewarnai media masa, seperti bencana banjir, tanah longsor, kabut asap, tragedi lumpur Lapindo, dan lain-lain. Seiring dengan itu, muncul pula berita terungkapnya pembalakan liar, pembakaran hutan, dan pembangunan gedung-gedung atau proyek lain yang tidak mengindahkan tata letak dan prosedur perizinan dan masih banyak lagi perilaku yang tak terpuji yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Namun ironisnya, permasalahan penanganan dan penegakan hukum atas perusakan lingkungan hidup justru sangat lemah. Hukum Lingkungan Hidup nyaris tumpul dan tak berdaya menghadapi berbagai perkara kejahatan lingkungan. Selama ini, kekecewaan atas putusan pengadilan tampaknya cenderung ditimpakan kepada para penegak hukum saja, yang dinilai tidak profesional dan integritasnya diragukan. Hal tersebut memang tidak bisa dimungkiri, namun sebenarnya ketentuan hukumnya juga masih banyak kelemahaan dan harus segera direvisi. Pada kenyataannya, UUPLH, 1997 sudah tidak relevan lagi/tidak bisa optimal dalam melindungi lingkungan hidup dari perilaku tidak terpuji para pelaku kejahatan lingkungan dan sekaligus memberikan penghukuman yang setimpal bagi pelakunya.

Menurut Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, MSc, yang disampaikan pada pembahasan RUUPPLH sebelum di sahkan tanggal 8 September 2009, Sumber kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan    di Indonesia banyak berpangkal pada dua masalah utama, yakni masalah kelembagaan/ struktural dan lemahnya pentaatan hukum. Ada dua fakta penting yang membuktikan hal ini. Pertama, studi terbaru yang diterbitkan oleh KLH-DANIDA dan ditulis oleh Prof. Maria Sumardjono et al (2008) menyimpulkan 13 UU yang mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (termasuk UU No 23 Tahun 1997), ternyata satu sama lain saling tumpang tindih dan tidak komplemen bahkan cenderung sebagai saling menegasikan. Temuan ini penting untuk disikapi oleh DPR. Jangan sampai UU PLH yang baru justru menambah kerumitan dan kompleksitas yang sudah ada. Kedua, hasil studi Kementerian Koordinasi Perekonomian (2007) tentang Daya Dukung Pulau Jawa yang menyimpulkan bahwa salah satu penyebab terlampauinya daya dukung Pulau Jawa adalah masalah kelembagaan. Sekitar 63 persen Perda (atau 176 Perda) yang diterbitkan oleh Gubernur, Bupati, dan Walikota se Jawa berorientasi ekstratif terhadap sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Sisanya 31 persen Perda (atau 85 Perda) berorientasi kolaboratif, dan hanya 6 persen saja (atau 17 Perda) yang berorientasi devolusi pengelolaan sumberdaya alam.

Selain itu, sudah sepatutnya, RUU PLH mengintegrasikan lingkungan dalam pembangunan ekonomi, termasuk menghitung degradasi lingkungan dalam neraca ekonomi nasional dan sudah selayaknya RUU PLH sebagai UU yang mengikat UU sektor lain. Artinya, faktor lingkungan menjadi acuan kebijakan sektor lain. RUU ini diberi nama RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Alasannya, kondisi lingkungan terkini membutuhkan penanganan lebih dari sekadar aturan-aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan.

Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup sebagai pengganti UUPLH, 1997 diharapkan dapat mengakomodir nyaris semua persoalan substansial, struktural, dan kultural yang tidak dapat diatasi oleh UUPLH, 1997.

II.  UUPLH no 23 tahun 1997 vs RUU PPLH no 32 tahun 2009

I  S  I

Secara umum, perbedaan antara UUPLH, 1997 Dengan Rencana Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RUUPPLH), 2009 dapat dibagi menjadi 2, yaitu

  1. PERBEDAAN STRUKTUR (BATANG TUBUH)

A.  UUPLH (UU No 23/1997) terdiri dari 11 bab dan 52 pasal

B.  RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009 yang telah disahkan tanggal 8 September 2009 terdiri atas 18 bab dan 86 pasal

  1. PERBEDAAN MATERI

A.  UUPLH (UU No 23/1997)

  1. Isi UUPLH saat ini (UU No 23/1997) lebih menitik beratkan pada isu pencemaran lingkungan hidup (brown issue), sedangkan pengelolaan sumberdaya alam meskipun telah diatur dalam berbagai Undang-undang, namun terbatas pada masing-masing komoditas (hutan, tambang, perkebunan), sedangkan implikasi terhadap dampak negatif kumulatif di wilayah tertentu, belum ada yang mengaturnya.
    1. kelembagaan pemerintah, termasuk hubungan pusat dan daerah, belum mempunyai sinergi dan kapasitas untuk menjalankan kebijakan, baik yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam maupun pengelolaan lingkungan hidup.
    2. Ruang lingkup pengelolaan lingkungan hidup sebatas pada pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan pencemaran lingkungan
    3. Azas subsidaritas

B.  RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009

  1. Dalam Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada pengaturan yang memberikan kewenangan kuat kepada penyidik pegawai negeri sipil. Wewenangnya mulai dari memeriksa kebenaran laporan, dokumen, hingga menangkap dan menahan pelanggar lingkungan.
  2. PPNS. Pada Bab XV tentang Penyidikan, terdapat sembilan kewenangan PPNS, seperti memeriksa kebenaran laporan, memeriksa orang/badan hukum, meminta keterangan dan bukti, serta memeriksa pembukuan, catatan, dan dokumen. Lainnya, menyita bahan dan barang hasil pelanggaran, meminta bantuan ahli terkait penyidikan, memasuki lokasi untuk memotret, dan membuat rekaman video. Terakhir, wewenang menangkap dan menahan tersangka pelanggar lingkungan.
  3. Dalam RUU PLH yang baru terkandung keinginan untuk memberi mandat yang lebih luas kepada lingkup pengelolaan lingkungan. Ranah pengelolan lingkungan hidup yang semula sebatas pada urusan kebijakan pencegahan, pengendalian dan penanggulangan pencemaran lingkungan; tampak diperluas ke: i) alokasi dan fungsi ruang; dan ii) pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya alam.[1]  Pasal 5, 6, 7, dan 8
  4. Dalam RUU PLH, pemulihan diletakkan sebagai bagian elemen pengendalian (bagian keempat dari Bab V Pengendalian, Pasal 23 dan 24), disamping itu pemulihan atas kerusakan dan pencemaran yang selama ini telah terjadi belum secara eksplisit dinyatakan untuk diatasi oleh negara dalam Pasal 23 dan 24. Dalam RUU PLH, pemantauan hanya diletakkan sebagai bagian dari kewenangan pejabat pengawas (Pasal 30).  DalamPasal 7. kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS). Hal ini tidak terdapat dalam UU No. 23 Tahun 1997. Dari penerapan KHLS dalam UU PPLH diharapkan pembangunan berkelanjutan sebagai dasar dan integrasi suatu kebijakan, rencana, dan program pembangunan.
  5. penguatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Upaya itu diharapkan mencegah kerusakan lingkungan dengan peningkatan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen Amdal, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang Amdal, dan Amdal sebagai persyaratan utama memperoleh izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan.
  6. Sistem hukum dapat ditegakkan oleh pejabat pengawas dengan penghentian pelanggaran di lapangan dengan pemberlakukan UU PPLH. Begitu pula penangkapan, penahan, hasil penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik PNS yang dibawa ke jaksa penuntut umum (JPU) bersama kepolisian. Pemberi izin lingkungan tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan dapat dipidana. (bila pejabat publik yang berwenang dengan sengaja melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dapat dipidana setahun dan didenda Rp1 miliar,”)

III.  UU PPLH No 32 tahun 2009

Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan

Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:

  1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
  2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
  3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
  4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
  6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
  7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
  8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
  10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
  11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.

Kita semua berharap, kehadiran UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH ini akan dapat memberikan lebih banyak manfaat dalam upaya kita, baik pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lebih baik dan bijaksana, sehingga apa yang menjadi titipan anak cucu kita dapat kita serahkan kembali dalam kondisi yang masih layak. Semoga.

Pergantian adanya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, secara filosofi Undang-undang ini memandang dan menghargai bahwa arti penting akan hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara.

Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh Rene Cassin dalam perkembangannya memasukan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment).Hal ini dilatarbelangkani adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan perikehidupan masyarakat.

Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen hak asasi manusia, internasional covenant on economic, social and culture right (ICESCR), namun pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang sehat (right to a healthy environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai non binding principle. Dalam berbagai konsitusi ditingkat nasional, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik telah diakui seperti halnya Konsitusi Afrika Selatan, Korea Selatan, Equador, Hungary, Peru, Portugal dan Philippines.

Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui dalam sebuah UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia . Di salah pasal pada Dekrasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar Manusia,dibawah bagian Hak untuk Hidup.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945, dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan perlu dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.

UU No 32 Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi . Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.

Reformasi yang ingin dibangun pada UU No.32 tahun 2009 , adanya era otonomi daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah. Bukan rahasia lagi bahwa dengan otonomi daerah yang ditandai adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru di daerah dengan membabat habis sumber daya alam kita, baik berupa hutan, tambang, perkebunan dan lain-lainnya. Yang semua itu tidak memperhatikan lingkungan dan dianggap tidak penting lingkungan itu.

Kedepan dengan terbitnya UU No.32 Tahun 2009, yang filosofinya begitu menghargai lingkunga, agar setiap orang menghormati hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak sewenang-wenang dalam memandang alam nan indah ini.

Dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak besar”. Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup ……”, pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan …..”.

Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak termuat dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan memberikan implikasi yang besar bagi para pelakuAMDAL, termasuk pejabat pemberi izin.

Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain:

  1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
  2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL;
  3. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL;
  4. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan;
  5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya.

Selain ke – 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam UU No. 32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:

  1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;
  2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi;
  3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.

Kaitan UU No. 32 Tahun 209 dengan Peraturan Menteri LH No. 11 Tahun 2008:

Sebelum disahkannya UU No. 32 Tahun 2009, KLH sudah menerbitkan peraturan menteri yang mengatur tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL (Permen. LH No. 11 Tahun 2008). Pada Pasal 4  Permen. LH No. 11 Tahun 2008 disebutkan bahwa persyaratan minimal untuk menyusun suatu dokumen AMDAL adalah 3 (tiga) orang dengan kualifikasi 1 orang Ketua Tim dan 2 orang Anggota Tim yang kesemuanya sudah memiliki sertifikat kompetensi. Sementara amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang tertuang dalam Pasal 28 adalah ”Penyusun dokumen sebagaimana … wajib memiliki sertifikat penyusun dokumen AMDAL”.  Jika yang dimaksud “penyusun dokumen AMDAL” pada undang-undang lingkungan yang baru adalah seluruh tim yang ada dalam suatu proses penyusunan dokumen AMDAL, maka dengan demikian Permen. LH No. 11 Tahun 2008 Pasal 4 sudah tidak berlaku lagi. Implikasinya selanjutnya adalah masa berlakunya persyaratan tersebut harus mundur sampai ada peraturan menteri yang secara rinci mengatur tentang hal itu sesuai amanat dalam Pasal 28 Ayat (4) yang memberikan kewenangan kepada KLH untuk membuat peraturan yang mengatur lebih rinci hal tersebut..

IV. KESIMPULAN

Meskipun dalam banyak hal RUUPPLH, 2009 secara substansial jauh lebih baik dan terperinci dibandingkan dengan UU PLH, 1997, namun ada beberapa hal yang masih menjadi kelemahan, antara lain :

  1. RUU PLH justru tampak ‘mundur kebelakang” yang ditunjukkan dengan hanya memperkuat instrumen yang cenderung bersifat reaktif seperti AMDAL. Yang menguat di dalam RUU PLH justru instrumen AMDAL. Ada 9 Pasal di dalam RUU PLH yang mengatur tentang AMDAL. Jauh lebih banyak dari pada UU PLH No 23 Tahun 1997 yang mengatur AMDAL hanya di 3 Pasal. penguatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Upaya itu diharapkan mencegah kerusakan lingkungan dengan peningkatan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen Amdal, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang Amdal, dan Amdal sebagai persyaratan utama memperoleh izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan.
  2. Di dalam RUU PLH, KLHS tampak hanya ditempatkan sebagai pelengkap dalam  tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 40, 41, dan 42). Padahal pengendalian kerusakan sumberdaya alam maupun pencemaran lingkungan hidup tidak akan efektif apabila tidak disertai instrumen KLHS untuk mencegahnya pada tingkat kebijakan, rencana maupun program. KLHS mempertimbangkan unsur-unsur keterkaitan, keseimbangan serta keadilan; seperti keterkaitan antar daerah, keseimbangan antara unsur-unsur ekonomi, sosial dan ekologi serta keadilan bagi masyarakat sebagai penerima dampak. RUU PLH perlu memberi mandat kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah yang memerinci pelaksanaan KLHS tersebut. Kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS). Hal ini tidak terdapat dalam UU No. 23 Tahun 1997. Dari penerapan KHLS dalam UU PPLH diharapkan pembangunan berkelanjutan sebagai dasar dan integrasi suatu kebijakan, rencana, dan program pembangunan.
  3. Total terdapat 26 kewenangan baru bagi KNLH, sejumlah kewenangan yang diatur, di antaranya menerbitkan izin lingkungan bagi kegiatan berskala besar dan penting, mengawasi kegiatan yang izin lingkungannya dikeluarkan KNLH dan daerah, mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan, mengembangkan dan melaksanakan instrumen ekonomi lingkungan hidup, menangkap dan menahan orang, serta menggugat secara perdata apabila terjadi kerugian terhadap negara. Ada juga kewenangan membuat kajian lingkungan hidup strategis secara nasional untuk pembangunan wilayah, perencanaan, dan program. Sebagaimana disebutkan oleh Koordinator Tim Ahli Pemerintah Mas Achmad Santos, penambahan kewenangan tersebut membutuhkan syarat pelaksanaan. Syarat tersebut, di antaranya, pengawasan ketat pelaksanaan di lapangan. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, KNLH bisa menjadi sumber penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi (Kompas, September 2009)

MANFAAT KEANEKARAGAMAN HAYATI

MANFAAT KEANEKARAGAMAN HAYATI

A. PENDAHULUAN

Keragaman hayati (biodiversity atau biological diversity) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekayaan berbagai bentuk kehidupan di bumi ini mulai dari organisme bersel tunggal sampai organisme tingkat tinggi. Keragaman hayati mencakup keragaman habitat, keragaman spesies (jenis) dan keragaman genetik (variasi sifat dalam spesies).

Masyarakat dimanapun berada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai organisme lain yang ada pada habitat tersebut dan membentuk suatu sistem ekologi dengan ciri saling tergantung satu sama lain. Masyarakat secara alamiah telah mengembangkan pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh kehidupan dari keragaman hayati yang ada di lingkungannya baik yang hidup secara liar maupun budidaya. Misalnya masyarakat pemburu memanfaatkan ribuan jenis hewan dan tumbuhan untuk makanan, obat-obatan dan tempat berteduh. Masyarakat petani, peternak dan nelayan mengembangkan pengetahuan dan teknologi untuk memanfaatkan keragaman hayati di darat, sungai, danau dan laut untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mulai dari makanan, pakaian, perumahan sampai obat-obatan. Masyarakat industri memanfaatkan keragaman hayati untuk menghasilkan berbagai produk industri seperti tekstil, industri makanan, kertas, obat-obatan, pestisida, kosmetik. Ilustrasi ini menggambarkan bagaimana keragaman hayati sangat erat hubungannya dengan masyarakat tanpa memandang tingkatan penguasaan teknologi, status sosial ekonomi maupun budaya. Dengan demikian, keragaman hayati adalah tulang punggung kehidupan, baik dari segi ekologi, sosial, ekonomi maupun budaya.

Indonesia adalah salah satu pusat keragaman hayati terkaya didunia. Di Indonesia terdapat sekitar 25.000 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga dunia). Jumlah spesies mamalia adalah 515 (12% dari jumlah mamalia dunia). Selain itu ada 600 spesies reptilia; 1500 spesies burung dan 270 spesies amfibia. Diperkirakan 6.000 spesies tumbuhan dan hewan digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada sekitar 7.000 spesiers ikan air tawar maupun laut merupakan sumber protein utama bagi masyarakat Indonesia (Shiva, 1994).

Keanekargaman hayati Indonesia adalah sumber daya yang penting bagi pembangunan nasional. Sifatnya yang mampu memperbaiki diri merupakan keunggulan utama untuk dapat di manfaatkan secara berkelanjutan. Sejumlah besar sektor perekonomian nasional tergantung secara langsung ataupun tak langsung dengan keanekaragaman flora-fauna, ekosistem alami dan fungsi-fungsi lingkungan yang dihasilkannya. Konservasi keanekaragaman hayati, dengan demikian sangat penting dan menentukan bagi keberlanjutan sektor-sekrtor seperti kehutunan, pertanian, dan perikanan, kesehatan, ilmu pengetahuan, industri dan kepariwisataan, serta sektor-sektor lain yang terkait dengan sektor tersebut.

  1. B. MANFAAT SOSIAL

Indonesia memiliki sekitar 350 suku dengan keanekaragaman agama, kepercayaan dan adat istiadat. Dalam upacara ritual keagamaan atau adat, banyak digunakan keanekaragaman hayati. Contohnya umat Islam menggunakan sapi dan kambing dewasa pada setiap hari raya Qurban, sedangkan umat Kristen memerlukan pohon cemara setiap Natal. Umat Hindu membutuhkan berbagai spesies keanekaragaman hayati untuk setiap upacara keagamaan yang dilakukan.

Budaya Keanekaragaman hayati dapat dikembangkan sebagai tempat rekreasi atau pariwisata, di samping untuk mempertahankan tradisi. Banyak spesies pohon di Indonesia yang dipercaya sebagai pengusir roh jahat atau tempat tinggal roh jahat seperti beringin dan bambu kuning (di Jawa). Upacara kematian di Toraja menggunakan berbagai spesies tumbuhan yang dianggap mempunyai nilai magis untuk ramuan memandikan mayat. Misalnya limau, daun kelapa, pisang, dan rempah-rempah lainnya. Pada upacara Ngaben di Bali digunakan 39 spesies tumbuhan. Dari 39 spesies tersebut banyak tumbuhan yang tergolong sebagai penghasil minyak atsiri dan bau harum seperti kenanga, melati, cempaka, pandan, sirih, dan cendana. Jenis lain, yaitu dadap dan tebu hitam diperlukan untuk menghanyutkan abu ke sungai.

Masyarakat Indonesia ada yang menetap di wilayah pegunungan, dataran rendah, maupun dekat dengan wilayah perairan. Masyrakat tersebut telah terbiasa dan menyatu dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Kegiatan memanen hasil hutan maupun pertanian merupakan kebiasaan yang khas bagi masyarakat yang tinggal di pegunungan atau dataran tinggi.  Masyarakat tersebut yang hidup berdekatan dengan laut, sungai, dan hutan memiliki aturan tertentu dalam upaya memanfaatkan tumbuhandan hewan. Masyarakat memiliki kepercayaan tersendiri mengenai alam. Dengan adanya aturan-aturan tersebut, keanekaragaman hayati akan terus terjaga kelestariannya.

  1. C. MANFAAT EKONOMI

Jenis hewan (fauna) dan tumbuhan (flora) dapat diperbarui dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Beberapa jenis kayu memiliki manfaat bagi kepentingan masyarakay Indonesia maupun untuk kepentingan ekspor. Jenis kayu-kayu tersebut antara lain adalah kayu ramin, gaharu, meranti, dan jati jika di ekspor akan menghasilkan devisa bagi negara. Beberapa tumbuhan juga dapat dijadikan sebagai sumber makanan yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin serta ada tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-oabatan dan kosmetika. Sumber daya yang berasal dari hewan dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan dan untuk kegiatan industri. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan yang dapat dijadikan sumber daya alam yang bernilai ekonomi. Laut, sungai, dan tambak merupakan sumber-sumber perikanan yang berpotensi ekonomi. Beberapa jenis diantaranya dikenal sebagai sumber bahan makanan yang mengandung protein.

  1. D. MANFAAT EKOLOGI

Keanekaragaman hayati merupakan komponen ekosistem yang sangat penting, misalnya hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki nilai ekologis atau nilai lingkungan yang penting bagi bumi, antara lain: a. Merupakan paru-paru bumi Kegiatan fotosintesis hutan hujan tropis dapat menurunkan kadar karbondioksida (CO2) di atmosfer, yang berarti dapat mengurangi pencemaran udara dan dapat mencegah efek rumah kaca. b. Dapat menjaga kestabilan iklim global, yaitu mempertahankan suhu dan ke lembaban udara.

Selain berfungsi untuk menunjuang kehidupan manusia, keanekaragaman hayati memiliki peranan dalam mempertahankan keberlanjutan ekosistem. Masing-masing jenis organisme memiliki peranan dalam ekosistemnya. Peranan ini tidak dapat digantikan oleh jenis yang lain. Sebagai contoh, burung hantu dan ular di ekosistem sawah merupakan pemakan tikus. Jika kedua pemangsa ini dilenyapkan oleh manusia, maka tidak ada yang mengontrol populasi tikus. Akibatnya perkembangbiakan tikus meningkat cepat dan di mana-mana terjadi hama tikus.

Tumbuhan merupakan penghasil zat organik dan oksigen, yang dibutuhkan oleh organisme lain. Selain itu, tumbuh-tumbuhan dapat membentuk humus, menyimpan air tanah, dan mencegah erosi. Keanekaragaman yang tinggi memperkokoh ekosistem. Ekosistem dengan keanekaragaman yang rendah merupakan ekosistem yang tidak stabil. Bagi manusia, keanekaragaman yang tinggi merupakan gudang sifat-sifat unggul (plasma nutfah) untuk dimanfaatkan di kemudian hari.

  1. E. MANFAAT FARMASI

Manusia telah lama menggunakan sumber daya hayati untuk kepentingan medis.  Sedikitnya ada 5.100 spesies tumbuhan digunakan masyarakat untuk ramuan obat cina. Sekitar 80% penduduk di Dunia ketiga (lebih kurang 3 milyar) tergantung pada pengobatan tradisonal (Shiva, 1994). Selain pengobatan tradisional, pengobatan moderenpun sangat tergantung pada keragaman hayati terutama tumbuhan dan mikroba.

Masyarakat Aborigin Australia misalnya, menggunakan banyak sekali tanaman lokal sebagai obat-obatan.   Sebagian kecil obat-obatan Aborigin telah dipergunakan secara luas sebagai obat-obatan di Barat, seperti minyak eukaliptus untuk melegakan infeksi jalur pernafasan, akan tetapi saat ini lebih banyak lagi yang sedang diteliti. Sumber daya dari tanaman liar, hewan dan mikroorganisme juga sangat penting dalam pencarian bahan-bahan aktif bidang kesehatan.  Banyak obat-obatan yang digunakan saat ini berasal dari tanaman;  beberapa antibiotik, berasal dari mikroorganisme, dan struktur kimia baru ditemukan setiap saat.

  1. F. MANFAAT INDUSTRI

Keanekaragaman hayati dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan (dapat mendatangkan devisa untuk industri). Misalnya untuk bahan baku industri, rempah-rempah, dan perkebunan. Bahan-bahan industri misalnya: kayu gaharu dan cendana untuk industri kosmetik, kayu jati dan rotan untuk meubel, teh dan kopi untuk industri minuman, gandum dan kedelai untuk industri makanan, dan ubi kayu untuk menghasilkan alcohol. Rempah-rempah, misalnya lada, vanili, cabai, bumbu dapur. Perkebunan misalnya: kelapa sawit dan karet.

  1. G. MANFAAT ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Kekayaan aneka flora dan fauna sudah sejak lama dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Hingga saat ini masih banyak jenis hewan dan tumbuhan yang belum dipelajari dan belum diketahui manfaatnya. Dengan demikian keadaan ini masih dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan pengetahuan dan penelitian bagi berbagai bidang pengetahuan. Misalnya penelitian mengenai sumber makanan dan obat-obatan yang berasal dari tumbuhan.

Keanekaragaman hayati merupakan lahan penelitian dan pengembangan ilmu yang sangat berguna untuk kehidupan manusia. Masih banyak yang bisa dipelajari tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya hayati secara lebih baik, bagaimana menjaga dasar genetik dari sumber daya hayati yang terpakai, dan bagaimana untuk merehabilitasi ekosistem yang terdegradasi.  Daerah alami menyediakan laboratorium yang baik sekali untuk studi seperti ini, sebagai perbandingan terhadap daerah lain dengan penggunaan sistem yang berbeda, dan untuk penelitian yang berharga mengenai ekologi dan evolusi.  Habitat yang tidak dialih fungsikan seringkali penting untuk beberapa pendekatan tertentu, menyediakan kontrol yang diakibatkan oleh perubahan mengenai sistem pelelolaan yang berbeda dapat diukur dan dilakukan.

  1. H. ANALISIS

Tumbuhan, hewan dan mikroorganisme penghuni bumi ini, saling berinteraksi didalam lingkungan fisik suatu ekosistem, merupakan fondasi bagi pembangunan berkelanjutan. Sumber daya hayati dari kekayaan kehidupan ini mendukung kehidupan manusia dan memperkaya aspirasi serta memungkinkan manusia untuk beradaptasi dengan peningkatan kebutuhan hidupnya serta perubahan lingkunganya.

Pada saat manusia memasuki revolusi industri, ada kurang lebih 850 juta jenis flora-fauna yang bersama-sama menghuni bumi. Pada saat ini, dengan populasi manusia sekitar enam kali, dan dengan tingkat konsumsi sumber daya yang berlipat jauh lebih besar, peningkatan kapasitas alam melalui upaya budi daya dan pengelolaan sumber daya tidak mampu mengikuti peningkatan pertumbuhan populasi dan kebutuhan hidupnya.

Dari komponen-komponen keanekaragaman hayati, baik diperoleh langsung dari alam maupun melalui budi-daya, umat manusia memperoleh semua bahan pangan dan sejumlah besar obat-obatan, serat bahan baku industi. Sumbangan perekonomian dari pemanenan komponen keanekaragaman hayati dari alam saja telah mennyumbang empat setengah persen GDP Amerika, atau bernilai 87 milyar dollar pada akhir tahun 1970. Perikanan lepas pantai, yang berasal dari jenis-jenis non budi daya telah menyumbang sekitar 100 juta ton bahan pangan. Pada beberapa negara berkembang masyarakat masih mencari bahan kebutuhan pangan pokok mereka dari alam. Umbi-umbian, dan sagu di Irian jaya, dan beberapa sumber karbohidrat utama di beberapa negara masih diperoleh langsung dari alam .

Nilai komponen keanekaragaman hayati yang dibudidayakan jauh lebih besar lagi. Pertanian menyumbang sekitar 32 persen dari GDP negara-negara berkembang. Perdagangan produk pertanian pada tahun 1989 mencapai 3 triliyun dolar. Komponen keanekaragaman hayati juga penting bagi kesehatan manusia. Sebelum industri sintesa muncul, semua bahan obat-obatan diperoleh dari alam, dan bahkan sekarang bahan-bahan alami ini masih vital. Obat-obatan tradisional mendukung pemeliharaan kesehatan bagi sekitar 80 % penduduk negara berkembang, atau lebih dari tiga milyar jiwa secara keseluruhan. Pengobatan tradisional saat ini di dorong perkembangannya oleh Badan Kesehatan Dunia WHO, dan juga di banyak negara,termasuk negara maju.

Demikian juga untuk pengobatan modern, seperempat dari resep obat-obatan yang di berikan Amerika Serikat mengandung bahan aktif yang diekstraksi dari tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan lebih dari 3000 antibiotik, termasuk penisilin dan tetrasiklin, diperoleh dari mikroorganisma. Siklosporin, di kembangkan dari suatu kapang tanah, merupakan penemuan revolusioner bagi transplantasi jaringan manusia, seperti untuk jantung dan ginjal, karena mampu menekan efek penolakan tubuh atas organ baru. Aspirin dan banyak obat-obatan lainnya yang sekarang mampu disintesakan kimiawi, pertama kali diekstraksi dari tumbuhan liar. Senyawa-senyawa yang diekstraksi dari tumbuhan, mikroba dan hewan merupakan komponen dalam perumusan 20 obat-obatan terlaris di Amerika yang mencapai angka perdagangan sebesar 6 milyar dolar pada tahun 1988.

Komponen keanekaragaman hayati juga mempunyai fungsi sebagai komoditi pariwisata. Diseluruh dunia, pariwisata alam menghasilkan sekitar 2 hingga 12 milyar dolar pendapatan setiap tahun.

Selain fungsi ekonomi seperti tersebut diatas, keanekeragaman hayati mempunyai fungsi sosial dan ekologis. Fungsi sosial keanekaragaman hayati adalah memberikan kesempatan atau lapangan kerja, bagian dari elemen spiritual masyarakat yang membentuk budaya setempat, serta membentuk jati diri masyarakat. Nilai spiritual dan aspirasi dari fungsi sosial ini juga mempengaruhi atau meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat. Fungsi ekologis keanekaragaman hayati berkaitan dengan proses-proses ekologis keaneka ragaman hayati, yaitu proses pertumbuhan, perkembangbiakan, dan evolusi. Tumbuhan menghasilkan oksigen dan menyaring polutan udara, memberikan mutu udara yang diperukan untuk pernafasan manusia serta makhlluk hidup lainnya. Proses mikroorganisme tanah memperbaiki kondisi kimiawi dan biologis tanah, struktur tanah serta kesuburan tanah secara umum, serta proses-proses lainnya mendukung kehidupan manusia dalam hal memberikan kualitas kehidupan yang lebih baik.

Fungsi, jasa dan produk komponen keanekaragaman hayati diatas, serta besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan tidak akan dapat diperoleh secara lestari jika sumber dayanya sendiri tidak dikelola secara lestari. Dari gambaran di atas, dapat di ketahui bahwa keanekaragaman hayati berperan sangat penting dan vital untuk menjamin kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Mulai dari mutu udara, mutu air, mutu tanah, dan mutu lingkungan secara keseluruhan, hingga untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, semuanya tergantung secara langsung maupun tak langsung pada keanekaragaman hayati.

  1. I. KESIMPULAN

Makhluk hidup di dunia ini sangat beragam. Keanekaragaman makhluk hidup tersebut disebut dengan sebutan keanekaragaman hayati atau biodiversitas. Setiap sistem lingkungan memiliki keanekaragaman hayati yang berbeda. Keanekaragaman hayati ditunjukkan oleh adanya berbagai variasi bentuk, ukuran, warna, dan sifat-sifat dari makhluk hidup lainnya.

Keanekaragaman hayati disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Terdapat interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan dalam mempengaruhi sifat makhluk hidup.

Kegiatan manusia dapat menurunkan keanekaragaman hayati, baik keanekaragaman gen, jenis maupun keanekaragaman lingkungan. Namun di samping itu, kegiatan manusia juga dapat meningkatkan keanekaragaman hayati misalnya penghijauan, pembuatan taman kota, dan pemuliaan.

Keragaman hayati merupakan komponen penyusun ekosistem alam yang mempunyai

peran sangat besar baik ditinjau dari segi ekologis, sosial, ekonomis maupun budaya.

Perubahan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya akan terjadi bila dalam perjalanan sejarah keragaman hayati terancam dan berubah menjadi keseragaman hayati. Teknologi yang berkembang yang diilhami oleh keragaman hayati hendaknya digunakan semaksimal mungkin untuk melestarikan keragaman hayati itu sendiri, bukan sebaliknya menghancurkan keragaman hayati.

Pemanfaatan keanekaragaman hayati bagimasyarakat harus secara berkelanjutan. Yang dimaksud dengan manfaat yang berkelajutan adalah manfaat yang tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

  1. J. DFTAR PUSTAKA

Shiva, V. 1994. Keragaman Hayati : Dari bioimperialisme ke biodemokrasi. PT. Gramedia

Sumber dari internet:

http://kirsmansa.byethost18.com/index.php/biologi/62-keanekaragaman-hayati.html

http://arnoldkidding.blogspot.com/2009/06/keanekaragaman-hayati.html

http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=88&fname=kb2hal26.htm

http://curahanilmu.blogspot.com/2009/05/manfaat-keanekaragaman-hayati-beserta.html

PENGELOLAAN & MELIHARAAN HUTAN KOTA

PENGELOLAAN & MELIHARAAN HUTAN KOTA

I.  PENDAHULUAN

Pembangunan perkotaan haruslah dilaksanakan secara terencana dan terpadu dengan memperhatikan antara lain tata ruang dan lingkungan agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien dan terciptanya lingkungan yang sehat, indah, dan nyaman. Dewasa ini, pembangunan perkotaan cenderung meminalkan ruang terbuka hijau.  Lahan terbuka hijau dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi,  serta prasarana dan saran perkotaan lainnya. Lingkungan perkotaan akhirnya hanya berkembang secara ekonomi, tetapi secara ekologi menurun.

Kondisi di atas menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perkotaan yang ditandai dengan meningkatnya suhu udara, pencemaran udara (meningkatnya kadar CO, ozon, karbon-dioksida, oksida nitrogen dan belerang, debu, suasana yang gersang, monoton, bising dan kotor),  banjir, intrusi alir laut, kandungan logam berat tanah meningkat, dan menurunnya   permukaan air tanah.

Salah satu alternatif  untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan pembangunan penghijauan perkotaan dengan pembuatan taman-taman dan hutan kota. Penghijauan perkotaan (hutan kota)  dapat mewujudkan memperbaiki dan menjaga iklim mikro, nilai estitika, fungsi resapan air, dan menciptakan keserasian serta keseimbangan dengan fisik kota. Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah dan sejuk namun aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam, yang pada giliran akan memberikan kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan serta sehat dan cerdasnya warga kota.

Secara umum  tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.

II. HUTAN KOTA

2.1.  Pengertian Hutan Kota

Pengertian dan lingkup hutan kota dalam tulisan ini didasarkan  pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V/2004 bagian ke enam.

1)      Hutan kota itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamaparan  yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak,  yang ditetapkan sebagi hutan kota oleh  pejaabat yang berwenang.

2)      Hutan kota

  1. Merupakan bagaian dari RTH (Ruang Terbuka Hijau)  sesuai peruntukan dalam RTRW Kabupaten/kota.
  2. Luas minimal adalah 0,25 hektar dalam satu hamparan yang kompak dan menyatu (hamparan yang menyatu) agar tercipta iklim mikro.
  3. Berada pada tanah negara atau tanah hak, sesuai persyaratan  dalam PP No. 63 tahun 2002.

2.2. Fungsi dan Pemanfaatan Hutan Kota

Fungsi dan manfaat hutan (hutan kota) antara lain untuk memberikan hasil, pencagaran flora dan fauna, pengendalian air tanah dan erosi, ameliorasi iklim. Jika hutan tersebut berada di dalam kota maka fungsi dan manfaat hutan antara lain menciptakan iklim mikro, engineering, arsitektural, estetika, modifikasi suhu, peresapan air hujan, perlindungan angin dan udara, pengendalian polusi udara, pengelolaan limbah dan memperkecil pantulan sinar matahari, pengendalian erosi tanah, mengurangi aliran permukaan, mengikat tanah. Konstruksi vegetasi dapat mengatur keseimbangan air dengan cara intersepsi, infiltrasi, evaporasi dan transpirasi.

Menurut PP RI No 63/2002 , fungsi hutan kota   adalah :
a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;
b. meresapkan air;
c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan
d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Menurut PP RI No 63/2002 , manfaat  hutan kota   diarahkan untuk (selama tidak menggangu funginya):
a. pariwisata alam, rekreasi kota, dan atau olah raga;
b. penelitian dan pengembangan;
c. pendidikan;
d. pelestarian plasma nutfah; dan atau
e. budidaya hasil hutan bukan kayu.

2.3.  Tipe dan Bentuk Hutan Kota

Menurut PP RI No 63/2002 , tipe hutan kota   terdiri dari :

a.  kawasan permukiman (hutan kota pemukiman);

b. kawasan industri (hutan kota industri)

c. rekreasi (hutan kota wisata);

d.pelestarian plasma nutfah (hutan kota khusus yaitu untuk  sangtuari satwa Burung, Sarana pendidikan dan penelitian, koleksi plasma nutfah, hankam, tanaman obat dll

e. perlindungan (hutan kota khusus); dan

f. pengamanan (hutan kota konsevasi).

Menurut PP RI No 63/2002 , bentuk hutan kota   terdiri dari :

Bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a. jalur;
b. mengelompok; dan
c. menyebar.

2.4.  Pengelolaan Hutan Kota

Guna mendapatkan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan, jenis yang ditanam dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota hendaknya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan tanaman tersebut dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di tempat itu dengan baik.Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta manfaat hutan kota yang maksimal, beberapa informasi yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:

  1. Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, altitude,salinitas dan lain-lain.
  2. Persyaratan meteorologis: suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari.
  3. Persyaratan silvikultur: kemudahan dalam hal penyediaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat pemeliharaan.
  4. Persyaratan umum tanaman:
    1. Tahan terhadap hama dan penyakit
    2. Cepat tumbuh
    3. Kelengkapan jenis dan penyebaran jenis,
    4. Mempunyai umur yang panjang,
    5. Mempunyai bentuk yang indah,
    6. Ketika dewasa sesuai dengan ruang yang ada
    7. Kompatibel dengan tanaman lain
    8. Serbuk sarinya tidak bersifat alergis,

Pengelolaan hutan kota  pada dasarnya disesuaikan/diselaraskan dengan fungsi dan manfaatnya. Pelaksanaan kegiatan Pengelolaan Hutan Kota beserta kegiatan pendukungnya diharapkan untuk dapat :

  1. Kawasan Pemukiman, yang berfungsi sebagai penghasil  oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air, penahan angin, dan peredam kebisingan. Komposisi tanaman berupa jenis pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan.

Hutan kota yang dibangun pada areal pemukiman bertujuan utama untuk pengelolaan lingkungan pemukiman, maka yang harus dibangun adalah hutan kota dengan tipe pemukiman. Hutan kota tipe ini lebih dititik-beratkan kepada keindahan, penyejukan, penyediaan habitat satwa khususnya burung, dan tempat bermain dan bersantai.

2. Kawasan industri, yang berfungsi untuk mengurangi polusi udara dan kebisingan, yang ditimbulkan dari kegiatan industri. Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri yang mempunyai fungsi sebagai penyerap pencemar, tempat istirahat bagi pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan. Beberapa jenis tanaman telah diketahui kemampuannya dalam menyerap dan menjerap polutan. Dewasa ini juga tengah diteliti ketahanan dari beberapa jenis tanaman terhadap polutan yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Dengan demikian informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan di kawasan industri.

3.   Kawasan rekreasi, yaitu penghijauan kota berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan rekreasi dan keindahan, dengan jenis pepohonan yang indah dan unik.

Manusia dalam kehidupannya tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah seperti makanan dan minuman, tetapi juga berusaha memenuhi kebutuhan rohaniahnya, antara lain rekreasi dan keindahan. Rekreasi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan manusia untuk memanfaatkan waktu luangnya (Douglass, 1982). Pigram dalam Mercer (1980) mengemukakan bahwa rekreasi dapat dibagi menjadi dua golongan yakni : (1) Rekreasi di dalam bangunan (indoor recreation) dan (2) Rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation). Brockman (1979) mengemukakan, rekreasi dalam bangunan yaitu mendatangkan pengalaman baru, lebih menyehatkan baik jasmani maupun rohani, serta meningkatkan ketrampilan.

Dewasa ini terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan minat penduduk perkotaan untuk rekreasi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan, peningkatan sarana transportasi, peningkatan sistem informasi baik cetak maupun elektronika, semakin sibuk dan semakin besar kemungkinan untuk mendapat stress.

Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin, supaya siap menghadapi tugas yang baru. Untuk mendapatkan kesegaran diperlukan suatu masa istirahat yang terbebas dari proses berpikir yang rutin sambil menikmati sajian alam yang indah, segar dan penuh ketenangan.

4.  Kawasan pelestariaan plasma nutfah, yang berfungsi sebagai pelestari plasma nutfah, meliputi :

a)  Penghijauan kota sebagai konservasi plasma nutfah khususnya vegetasi in-situ dan ex-situ;

b)  Penghijauan kota sebagai habitat satwa yang dilindungi  atau yang dikembangkan.

Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. Hutan kota dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu.

Manusia modern menginginkan back to nature. Hutan kota dapat diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan satwa lainnya. Suatu kota sering kali mempunyai kekhasan dalam satwa tertentu, khususnys burung yang perlu diperhatikan kelestariannya. Untuk melestarikan burung tertentu, maka jenis tanaman yang perlu ditanam adalah yang sesuai dengan keperluan hidup satwa yang akan dilindungi atau ingin dikembangkan, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan ataupun untuk bertelur.

Hutan yang terdapat di pesisir pantai menghasilkan bahan organik. Dedaunan yang jatuh ke air laut kemudia dapat berubah menjadi detritus. Pada permukaan detritus dapat menjumpai mikroorganisme air. Sebagian hewan merupakan pemakan detritus (detritus feeder). Nampaknya organisme yang memakan detritus ini, sesungguhnya memangsa mikroorganismenya, karena mikroorganisme mengandung protein, karbohidrat dan lain-lain. Apabila hutan ini hilang, maka detritus tidak tersedia lagi dan akibatnya hewan pemakan detritus pun akan musnah.

5.  Kawasan perlindungan, yaitu penghijauan kota yang berfungsi untuk :

a)   Mencegah/mengurangi bahaya erosi dan longsor pada lahan dengan kemiringan cukup tinggi dan sesuai karakter tanah;

b)  Melindungi  daerah pantai dari gempuran ombak (abrasi);

c)   Resapan air untuk mengatasi masalah menipisnya volume air tanah atau masalah intrusi air laut.

Selain dari tipe yang telah disebutkan di atas, areal kota dengan mintakat ke lima yaitu daerah dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai perlu dijaga dengan membangun hutan kota agar terhindar dari bahaya erosi dan longsoran.

Hutan kota yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah pantai dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Untuk beberapa kota masalah abrasi pantai ini merupakan masalah yang sangat penting.

Kota yang memiliki kerawanan air tawar akibat menipisnya jumlah air tanah dangkal dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka hutan lindung sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air harus dibangun di daerah resapan airnya. Dengan demikian ancaman bahaya intrusi air laut dapat dikurangi.

6.  Kawasan pengamanan, berfungsi untuk meningkatan keamanan pengguna  jalan pada jalur. Kendaraan dengan membuat jalur hijau dengan kombinasi pepohonan dan tanaman perdu. Yang dimaksudkan hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Dengan menanam perdu yang liat dan dilengkapi dengan jalur pohon pisang dan tanaman yang merambat dari legum secara berlapis-lapis, akan dapat menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan. Sehingga bahaya kecelakaan karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara mengantuk dapat dikurangi. Pada kawasan ini tanaman harus betul-betul cermat dipilih yaitu yang tidak mengundang masyarakat untuk memanfaatkannya. Tanaman yang tidak enak rasanya seperti pisang hutan dapat dianjurkan untuk ditanam di sini

III. Pembangunan Hutan Kota

Pembangunan hutan hotan sebaiknya direncanakan secara matang,  antara  lain dengan memperhatikan :

  1. Hutan kota dapat dibangun pada tanah yang kosong di kawasan : pemukiman, perkantoran dan industri, tepi jalan, tikungan perempatan jalan, tepi jalan tol, tepian sungai, di bawah kawat tegangan tinggi, tepi jalan kereta api dan berbagai tempat lainnya yang memungkinkan untuk ditanami.
  2. Pengukuhan hukum terhadap lahan hutan kota. Dengan demikian tidak terlalu mudah untuk merubah kawasan ini menjadi peruntukan lain.
  3. Pembuatan dan penegakan sanksi bagi siapa yang menggunakan lahan hutan kota untuk tujuan-tujuan tertentu di luar peruntukannya.
  4. Sanksi yang cukup berat bagi siapa saja yang melakukan vandalisme.
  5. Melindungi tanaman dengan balutan karung atau membuat pagar misalnya dari bambu, agar binatang tidak mudah masuk dan merusak tanaman

Keberhasilan  suatu pembangunan hutan kota ditentukan  oleh banyak faktor, antara lain   persiapan bibit tanaman, siafat tanaman yang dikehendaki, dan pemeliharaannya.

3.1. Persiapan bibit tanaman

Pesiapan bibit tanaman yang penting dalam pembangunan hutan kota :

  1. mempunyai perakaran yang dalam, kuat, tidak  udah tumbang, dan tidak mudah gugur
  2. Mampu tumbuh pada ruang terbuka dan pada berbagai jenis tanah
  3. Tumbuh cepat  dan tahan terhadap gangguan fisik
  4. Tidak memerlukan perawatan intensif (rendah sampai tidak perlu perawatan)
  5. Berumur panjang
  6. Tahan terhadap kekurang air
  7. Pohon-pohon langka dan unggulan setempat
  8. pohon-pohon penghasil bunga/biji/buah yang bernilai ekonomis
  9. pohon-pohon yang yang teduh dan indah penghasil bunga/biji.buah yang duskai oleh burung, kupu-kupu, dan sebaginya

10.  pohon-pohon dengan evaporasi yang rendah

11.  pophon penaha erosi laut (abrasi pantai)

12.  Dapat ditaman dengan kepadatan sampai  440 pohon/ha (standar 400 pohon/ha)

Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan lainnya yaitu dalam teknik penanaman pohon :

(1) Pemilihan bibit tanaman. Bibit generatif adalah berasal dari biji, merupakan bibit yang lebih tepat karena mempunyai akar tunggang dan dapat hidup lebih lama. Bibit vegetatif, adalah bibit yang berasal dari bagian-bagian vegetatif tanaman, seperti batang, daun dan akar. Bibit vegetatif umumnya kurang kokoh dan perakarannya dangkal sehingga cepat merusak trotoar, jalan atau saluran drainase.

Bibit yang baik sekurang-kurangnya telah tumbuh di wadahnya selama 6 bulan dengan batang tinggi minimal + 1.50 m dan diameter 0.05 m, untuk mengujinya cukup dengan mencabut bibit tersebut. Apabila bibit mudah lepas dari wadahnya berarti baru dipindahkan dan belum cukup baik ditanam di lapangan, sebaliknya jika sulit dilepaskan berarti perakarannya sudah terbentuk dengan baik dan dapat ditanam di lapangan;

(2) Penanaman. Lubang tanam perlu dipersiapkan sedikitnya satu minggu sebelum penanaman dilakukan. Ukuran lubang tanam sangat bergantung pada besarnya tanaman. Ukuran standar lubang tanam adalah 0.75 m (tinggi) x 0.90 m (lebar) x 0.90 m (panjang);

(3) Perawatan pascatanam. Mempertahankan posisi tumbuh agar tetap tegak dan stabil. Menyiram tanaman 2-3 hari sekali terutama di musim kemarau sambil membuang ranting-ranting yang kering. Memupuk tanaman 3 bulan sekali dengan pupuk NPK 25 gram per lubang (Rully Wijayakusuma, 2004).

3.2.  Sifat-sifat Tanaman Hutan Kota

Tanaman yang ditanam hutan pada umumnya dicari yang mempunyai fungsi untuk melindungi kota dari pencemaran udara akibat prasarana dan sarana fisik kota, atau untuk kepentingan lain seperti keindahan, rekresi, wisata dan sebagainya

  1. 1. Penyerapan partikel limbah

Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan (Goldmisth dan Hexter, 1967). diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor (Krishnayya dan Bedi, 1986). Dahlan (1989); Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan, Danur, Pringgodigdo dan Sigit (1990) menyatakan damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempunyai kemampuan yang sedang tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa tanaman berikut ini : glodogan (Polyalthea longifolia) keben (Barringtonia asiatica) dan tanjung (Mimusops elengi), walaupun kemampuan serapannya terhadap timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemar udara.

  1. 2. Penyerap CO2 dan penghasil O2

Pepohonan merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudra. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.

Hutan merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menurunnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun hutan kota untuk membantu mengatasi penurunan fungsi hutan tersebut.

Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.

Widyastama (1991) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah : damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis) dan beringin (ficus benyamina).

  1. 3. Penyerap dan Penjerap Debu Semen

Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat di udara bebas harus diturunkan kadarnya.

Studi ketahanan dan kemampuan dari 11 jenis akan yaitu : mahoni (Swietenia macrophylla), bisbul (Diospyrosdiscolor), tanjung (Mimusops elengi), kenari (Canarium commune), meranti merah (Shorealeprosula), kere payung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros clebica), duwet (Eugenia cuminii), medang lilin (Litsea roxburghii) dan sempur (Dillenia ovata) telah diteliti oleh Irawati tahun 1990. Hasil penelitian ini menunjukkan, tanaman yang baik untuk dipergunakan dalam program pengembangan hutan kota di kawasan pabrik semen, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemaran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam menjerap (adsorpsi) dan menyerap (absorpsi) debu semen adalah mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti merah, kere payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet, medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka terhadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen (Irawati, 1990).

  1. 4. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.

Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus (Wedding dkk. dalam Smith, 1981). Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota.

  1. 5. Peredam kebisingan

Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal dengan daun yang rindang (Grey dan Deneke, 1978). Dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah. Menurut Grey dan Deneke (1978), dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%.

  1. 6. Mengurangi Bahaya Hujan Asam

Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi. Proses gutasi akan memberikan beberapa unsur diantaranya ialah : Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glumatin dan gula (Smith, 1981).

Menurut Henderson et al., (1977) bahan an-organik yang diturunkan ke lantai hutan dari tajuk melalui proses troughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum.

Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang terdapat pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersifat netral. Dengan demikian pH air dari pada pH air hujan asam itu sendiri. Dengan demikian adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Hasil penelitian dari Hoffman et al. (1980) menunjukkan bahwa pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon.

  1. 7. Penyerap Karbon Monoksida

Bidwell dan Fraser dalam Smith (1981) mengemukakan, kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas ini sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikro organisme serta tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill, 1975).

Inman dan kawan-kawan dalam Smith (1981). mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8 x 104 ug/m3) menjadi hampir mendekati nol hanya dalam waktu 3 jam saja.

  1. 8. Tanaman penyerap/penepis bau

Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah sementara atau permanen mempunyai bau yang tidak sedap. Tanaman dapat digunakan untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau secara langsung, atau tanaman akan menahan gerakan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik lagi hasilnya, jika tanaman yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum. Tanaman yang dapat menghasilkan bau harum antara lain : Cempaka (Michelia champaka) dan tanjung (Mimusops elengi), Pandanus op (pandan), Murraya paniculata (kemuning), Mimisops elengi (tanjung).

  1. 9. Tanaman untuk mengatasi penggenangan

Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi yang tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kriteria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut daun) yang banyak pula.

Menurut Manan (1976) tanaman penguap yang sedang tinggi diantaranya adalah : nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp), jati (Tectona grandis), kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucanea glauca).

10. Tanaman untuk pelestarian air tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky, 1978). Maka kadar air tanah hutan akan meningkat.

Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Di samping itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan.

Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah. Dengan demikian hutan kota yang dibangun pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.

Menurut Manan (1976) tanaman yang mempunyai daya evapotrnspirasi yang rendah antara lain : cemara laut Casuarina equisetifolia), Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis (Garcinia mangostana), bungur (Lagerstroemia speciosa), Fragraea fragrans dan kelapa (Cocos nucifera).

  1. 11. Ameliorasi Iklim

Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan. Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan lain-lain. sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan Robinette, 1983).

Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh : panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

  1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0° C dengan kelembaban 66-92%.
    1. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1° C dengan kelembaban 62-78%.
    2. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1° C dengan kelembaban 62-78%.

Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di beberapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wanabakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, hutan memiliki suhu udara yang paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput dan beton.

12. Tanaman pengaman pantai dari abrasi

Kota-kota yang terletak di tepi pantai pada beberapa tahun terakhir ini dihantui oleh intrusi air laut.  Pemilihan jenis tanaman dalam pembangunan hutan kota pada kota yang mempunyai masalah intrusi air laut harus betul-betul diperhatikan karena:

  1. Penanaman dengan tanaman yang kurang tahan terhadap kandungan garam yang sedang-agak tinggi akan mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik, bahkan mungkin akan mengalami kematian.
  2. Penanaman dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang tinggi akan menguras air dari dalam tanah, sehingga konsentrasi garam adalah tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan bukan lagi memecahkan masalah intrusi air asin, malah sebaliknya akan memperburuk keadaannya.

Upaya untuk mengatasi masalah ini sama dengan upaya untuk meningkatkan kandungan air tanah yaitu membangun hutan lindung kota pada daerah resapan air tanah yaitu membangun hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Contoh tanamannya antara lain : Mangrove, Avicinnea,Brugiera, dan Nipah.

13. Produksi Terbatas

Hutan kota berfungsi in-tangible juga tangible. Sebagai contoh, pohon mahoni di Sukabumi sebanyak 490 pohon telah dilelang dengan harga Rp. 74 juta (Pikiran Rakyat, 18-3-1991). Penanaman dengan tanaman yang menghasilkan biji atau buah yang dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan warga masyarakat dapat meningkatkan taraf gizi/kesehatan dan penghasilan masyarakat. Buah kenari untuk kerajinan tangan. Bunga tanjung diambil bunganya. Buah sawo, kawista, pala, lengkeng, duku, asem, menteng dan lain-lain dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkatkan gizi dan kesehatan warga kota.

14. Penapis Cahaya Silau

Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium, baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya akan terasa sangat menyilaukan dari arah depan, akan mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi.

Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya. Pohon dapat dipilih berdasarkan ketinggian maupun kerimbunan tajuknya.

15. Meningkatkan Keindahan

Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan tersedianya makanan, minuman, namun juga membutuhkan keindahan. Keindahan merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda-benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya (Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik.

Benda-benda buatan manusia, walaupun mempunyai bentuk, warna dan tekstur yang sudah dirancang sedemikian rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan pohon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat alami yang sangat disukai oleh setiap manusia.

Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan pemilihan jenis tanaman harus dipilih sedemikian rupa, sehingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan sesuai dengan kondisi yang ada. Warna daun, bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang nuansa (bergradasi lembut).

Komposisi tanaman dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga pemandangan yang kurang enak dilihat seperti : tempat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, manusiawi dan akrab dengan hadirnya hutan kota sebagai tabir penyekat di sana.

16. Sebagai Habitat Burung

Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam (back to nature). Desiran angin, kicauan burung dan atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat menghalau kejenuhan dan stress yang banyak dialami oleh penduduk perkotaan.

Salah satu satwa liar yang dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Burung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara lain (Hernowo dan Prasetyo, 1989) :

  1. Membantu mengendalikan serangga hama,

b.  Membantu proses penyerbukan bunga,

  1. Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi,

d.  Burung memiliki suara yang khas yang dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan,

  1. Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi,
  2. Sebagai sumber plasma nutfah,
  3. Objek untuk pendidikan dan penelitian.

Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra di antaranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis lain disenangi oleh burung, karena berulat yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya.
Menurut Ballen (1989), beberapa jenis tumbuhan yang banyak didatangi burung  antara  lain :

  1. Kiara, caringin dan loa (Ficus spp.) F. benjamina, F. variegata, dan F. glaberrima buahnya banyak dimakan oleh burung seperti punai (Treron sp.).

b.  Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasilkan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yangtengah berbunga antara lain : betet (Psittacula alexandri), serindit (Loriculus pusillus), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis burung madu.

  1. Dangdeur (Gossampinus heptaphylla). Bunganya yang berwarna merah menarik burung ungkut-ungkut dan srigunting.
  2. Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering dimanfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pembuatan sarangnya.
  3. Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeola speciosa) dan manyar (Ploceus sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti : burung cacing (Cyornis banyumas), celepuk (Otus bakkamoena), sikatan (Rhipidura javanica), kepala tebal bakau ( Pachycephala cinerea) dan perenjak kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pada pangkal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam batangnya.

17.  Mengurangi Stress

Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas, mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pihak lingkungan hidup kota mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendaraan bermotor maupun industri. Petugas lalu lintas sering bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monoksida (Soemarwoto, 1985). Oleh sebab itu gejala stress (tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota.

Program pembangunan dan pengembangan hutan kota dapat membantu mengurangi sifat yang negatif tersebut. Kesejukan dan kesegaran yang diberikannya akan menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh tajuk dan lantai hutan kota. Kicauan dan tarian burung akan menghilangkan kejemuan. Hutan kota juga dapat mengurangi kekakuan dan monotonitas.

18.   Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi

Hutan kota berupa formasi hutan mangrove dapat bekerja meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Dengan demikian hutan kota selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses pembentukan daratan.

19.   Meningkatkan Industri Pariwisata

Bunga bangkai (Amorphophallus titanum) di Kebun raya Bogor yang berbunga setiap 2-3 tahun dan tingginya dapat mencapai 1,6 m dan bunga Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik bagi turis domestik maupun manca-negara. Tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dilengkapi dengan hutan kota yang unik, indah dan menawan.

20.  Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang

Monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kehidupan di kota besar perlu diimbangi oleh kegiatan lain yang bersifat rekreatif, akan dapat menghilangkan monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kerja.

3.3. Pemeliharaan, Perlindungan/pengamanan  Hutan Kota

Pemeliharaan hutan kota  dilaksanakan dalam rangka menjaga dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan kota melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tanaman dan peningkatan kualitas tempat tumbuh. Pada dasarnya pemeliharaan termasuk didalamnya perlindungan dan pengamanannya.

a) Pemeliharaan

Pada dasarnya pemeliharaan hutan dapat dilakukan secara minimal jika hutan kota tersebut telah terbangun atau terbentuk. Masalah utama pada hutan kota yang telah terbangun adalah kekeringan pada musim kemarau. Jadi,  pemeliharaan utama  hutan kota adalah penyiraman.

Pemeliharaan penting pada pembangunan hutan kota adalah yaitu pada saat tanaman berumur kurang dari dua tahun.

  1. Pemeliharaan tahun berjalan

Meliputi kegiatan pemupukan (pupuk organik dan an organik), penyiangan, penyulaman, pendaringan/penjarangan, pengendalaian hama penyakit. Penyulaman tahun berjalan untuk mengganti tanaman yang mati/tidak tumbuh normal sebanayak maksimum 10 persen (40 batang bibit)

  1. Pemeliharaan tahun pertama dan kedua.

Pemeliharaan tahun pertama  dapat dilakukan apabila prosentase  tumbuh pohon diatas 55 persen dan tahun  kedua apabila prosentase tumbuh diatas 75 persen.

Pemeliharaan meliputi pemupukan (pupuk organik dan an organik), penyiangan, penyulaman, pendaringan/penjarangan, pengendalaian hama penyakit

b) Perlindungan/pengamanan Hutan Kota

  1. Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana bertujuan untuk menjaga keberadaan dan kondisi hutan kota agar tetap berfungsi secara optimal.

2. Perlindungan dan pengamanan hutan kota  dilakukan melalui upaya :
a.  pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan;

b. pencegahan dan penanggulangan pencurian fauna dan flora;

c. pencegahan dan penanggulangan kebakaran; dan

d. pengendalian dan penanggulangan hama dan penyakit.

3.  Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau penurunan fungsi hutan kota.

  1. membakar hutan kota;
  2. merambah hutan kota;
  3. menebang, memotong, mengambil, dan memusnahkan tanaman dalam hutan kota, tanpa izin dari pejabat yang berwenang;
  4. membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran atau membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota; dan
  5. mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah.

IV.   PENUTUP

Masalah hutan kota yang paling mendasar hingga saat ini adalah : (1) dukungan dari penentu kebijakan, (2) dukungan finansial, (3) dukungan masyarakat, dan (4) tenaga ahli. Oleh karena itu untuk memperoleh keberhasilan pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia dukungan-dukungan seperti yang telah disebutkan di atas perlu disempurnakan secara sungguh-sungguh.

Ilmu hutan kota merupakan suatu disiplin ilmu yang relatif baru, namun sangat perlu dan segera harus dikembangkan, karena mempunyai keuntungan antara lain:

  1. Melalui penyuluhan hutan kota kepada masyarakat dapat disampaikan tentang pentingnya menciptakan lingkungan hidup di perkotaan yang sehat, indah, bersih, nyaman dan alami, sehingga dapat dijadikan sebagai komponen pelengkap dalam mewujudkan kemajuan, ketahanan dan masa depan bangsa Indonesia. Usaha penataan kota seperti yang telah dilakukan oleh beberapa kota seperti : Jakarta, Bandung, Surabaya dan beberapa kota besar lainnya diharapkan akan berjalan lebih pesat lagi dan dapat diikuti dengan beberapa kota lainnya.
  2. Turut mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan.
  3. Sebagai salah satu bukti nyata tentang keterlibatan disiplin ilmu kehutanan dalam memecahkan masalah lingkungan global.
  4. Menciptakan lapangan kerja baru bagi sarjana kehutanan dan lulusan sekolah dibawahnya.
  5. Turut serta dalam menangkal kampanye Anti Penggunaan Kayu Tropis.
  6. Turut mensukseskan program kunjungan wisata ke Indonesia.
  7. Mengubah persepsi masyarakat barat yang tidak tepat.
  8. Membantu pemerintah dalam program udara bersih (PRODASIH)

metode penelitian

Sunting

Metodologi Penelitian – by Dr. Dyah

Chapter 3…

¡   Metode ilmiah…

¡    Losari beach, makassar, 2007

¡    Tanah lot, bali, 2007

Pokok perkuliahan/praktikum:

¡       Pengantar – aks 1

¡       Filsafat ilmu dan budaya ilmiah – aks 2/3

¡     Metode ilmiah – dik 4/5

evaluasi i

¡       Teknik penulisan ilmiah – aks 6

¡       Penulisan tesis – dik 7

¡       Penulisan artikel ilmiah – aks 8

¡       Etika penulisan ilmiah – aks 9

evaluasi ii

¡       Memahami dokumen ilmiah – dik 10/11

¡       Teknik presentasi ilmiah aks 12/13

¡       Penggunaan ejaan bahasa indonesia – aks 14/15

¡       Menghindari plagiarisme – dik 16

evaluasi iii

¡       Praktikum:

telaah tesis/dik 1-4

telaah artikel ilmiah/aks 5-8

penyusunan artikel ilmiah/dik aks 9-12

presentasi ilmiah/dik aks 13-16

Metode ilmiah

¡     Merupakan suatu cara untuk memburu kebenaran ilmiah.

¡     Merupakan perpaduan antara rasionalisme dan empirisme.

¡     Terdiri atas beberapa tahapan penting yang harus dilalui untuk mencapai kebenaran ilmiah.

Jenis metode ilmiah

¡      Metode observasi (dengan indera; alat dan kondisi pengamat dan pengamatan penting diperhatikan)

¡      Metode trial and error, trial and success (learning by doing, learning by thinking)

¡      Metode percobaan/eksperimen (pengujian hipotesis dan hubungan sebab – akibat; terjadi manipulasi/kontrol kondisi obyek dalam beberapa faktor perlakuan)

¡      Metode statistika (pengelompokan, analisis angka untuk induksi; bermanfaat umtuk memahami hubungan antarfaktor dan prediksi dari kecenderungan).

¡      Metode sampling (contoh representatif dari data yang serupa; pengelompokan dilakukan sebelum sampling).

Tahapan metode ilmiah

¡     Penentuan masalah

¡     Perumusan masalah

¡     Pengajuan hipotesis

¡     Deduksi hipotesis

¡     Pengumpulan data

¡     Pengujian hipotesis

¡     Penetapan tesis

¡     Pelaporan tesis

Tata langkah metode ilmiah

o       Identifikasi, pemilihan, dan perumusan masalah

o       Penelaahan kepustakaan

o       Perumusan hipotesis

o       Identifikasi, klasifikasi, dan pendefinisian peubah

o       Pemilihan dan pengembangan alat ukur

o       Penyusunan rancangan penelitian

o       Penetapan contoh

o       Pengumpulan data

o       Pengolahan dan analisis data

o       Interpretasi hasil analisis

o       Penyusunan laporan penelitian/tulisan ilmiah

(suryadibrata, 1998)

Penentuan masalah

¡     Berbagai masalah harus sebelumnya diidentifikasi, khususnya yang bersifat signifikan.

¡     Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan pengamatan langsung, membaca artikel, diskusi, seminar, kesimpulan penelitian sebelumnya, pernyataan pejabat penting, dll.

¡     Masalah kemudian dipilih dan ditentukan berdasarkan prioritas serta kelayakannya untuk diteliti.

¡     Masalah yang telah ditentukan dan akan diteliti harus dibatasi secara jelas.

Perumusan masalah

¡     Dalam perumusan, masalah harus sudah dirumuskan secara jelas.

¡     Faktor-faktor yang terlibat harus sudah diidentifikasi.

¡     Seluruh faktor harus tergambar sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kerangka yang mewujud dalam bentuk gejala yang diamati atau diteliti.

Pengajuan hipotesis

¡     Hipotesis adalah kesimpulan sementara dari masalah yang akan diteliti.

¡     Hipotesis berasal dari hubungan sebab – akibat dari berbagai faktor yang membentuk masalah.

¡     Hipotesis merupakan hasil penalaran deduktif – induktif berdasarkan pengetahuan sebelumnya yang telah diketahui kebenarannya.

Deduksi hipotesis

¡     Deduksi hipotesis merupakan konsekuensi hipotesis secara empirik.

¡     Dengan deduksi hipotesis, fakta yang dapat dilihat dalam kenyataan (empirik) diidentifikasi untuk diukur.

¡     Melalui deduksi hipotesis, alat ukur ditentukan atau dibuat dan dikembangkan.

Pengumpulan data

¡     Setelah alat ukur tersedia, data – yang merupakan fakta empirik – dikumpulkan.

¡     Fakta dikumpulkan secara sistematik dan dicatat serta diolah secara hati-hati untuk kemudian diolah dengan berbagai alat.

Pengujian hipotesis

¡     Dengan menggunakan fakta yang terkumpul, hipotesis kemudian diuji.

¡     Bila hasilnya positif (fakta sama dengan hipotesis), maka hipotesis berubah menjadi tesis.

¡     Bila hasilnya negatif (fakta tidak sama dengan hipotesis), maka hipotesis menjadi antitesis.

Penetapan tesis

¡    Tesis kemudian akan menjadi pengetahuan-ilmu baru yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala lain.

¡    Antitesis akan digunakan untuk membuat hipotesis lain.

Pelaporan tesis

¡     Baik tesis maupun antitesis harus dilaporkan kepada masyarakat ilmiah melalui laporan penelitian atau pun artikel ilmiah.

¡     Tesis masih harus melalui peer review untuk dilaporkan ke masyarakat ilmiah.

¡     Penelitian belum dapat dikatakan selesai sebelum dilaporkan.

¡    Sunset in tanah lot bali, 2007

¡    Sunrise in the morning of bromo east java, 2007

STRATEGI KONSERVASI GAJAH SUMATERA ( E. maximus sumatranus)

STRATEGI KONSERVASI GAJAH SUMATERA ( E. maximus sumatranus)

A.  PENDAHULUAN

Menyelaraskan konsep pembangunan nasional dengan konservasi keanekaragaman hayati merupakan upaya yang tidak mudah dan kompleks sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan pertimbangan yang menyeluruh dan melibatkan multi pihak. Pembangunan di satu sisi merupakan upaya penting yang harus terus dilakukan secara terus menerus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi nasional. Di sisi lain pembangunan hendaknya tetap memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan ekosistem sehingga dicapai pembangunan yang berkesinambungan dan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya.

Secara umum pembangunan ekonomi memerlukan ruang untuk infrastruktur khususnya lahan terutama untuk industri, pertanian, pertambangan dan pemukiman. Saat ini ruang untuk pembangunan tersebut sebagian besar atau seluruhnya diperoleh dengan mengkonversi kawasan hutan di dataran rendah baik yang relatif utuh maupun yang sudah terdegradasi. Di pihak lain, kawasan hutan juga merupakan ekosistem keanekaragaman hayati yang dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar yang memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Semakin cepatnya upaya pembangunan maka semakin rumit upaya untuk mengalokasikan ruang bagi kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem. Kondisi ini seringkali mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan yang pada akhirnya merugikan pemerintah dan masyarakat umum secara luas.

Di Pulau Sumatera dalam dua dekade terakhir, upaya pembangunan ekonomi dan pertambahan penduduk terutama migrasi untuk mendukung pembangunan di pulau ini meningkat dengan pesat. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan pertumbuhan penduduk akan meningkat dari 20.7% pada tahun 2000 hingga 22.7 % tahun 2025 di Sumatera (BPS 2007).

Akibat langsung dari kegiatan pembangunan ini adalah akan berkurangnya luasan habitat beberapa mamalia besar seperti gajah sumatera. Dampak negatif dari kegiatan ini menimbulkan konflik antara manusia dan satwa liar seperti gajah yang pada akhirnya mengakibatkan korban di kedua belah pihak.

Kebijakan konservasi dan pengelolaan gajah Sumatera kemudian dikaji ulang pada tahun 1995. Kajian tersebut melahirkan percepatan upaya pemanfaatan gajah hasil PLG untuk keperluan logging dan wisata alam. Pada tahun 2000, pemerintah telah melaksanakan lokakarya untuk mengkaji ulang status populasi dan distribusi gajah sumatera.

Dalam tujuh tahun terakhir, konflik antara manusia, pembangunan ekonomi dan gajah di Sumatera meningkat dengan pesat. Oleh karena itu, dalam upaya menyelesaikan masalah di atas, pada tahun 2007 pemerintah dan para pihak terkait termasuk pemerhati gajah di Indonesia kembali melakukan kajian dan menetapkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Indonesia untuk waktu sepuluh tahun mendatang.

B.  KONDISI GAJAH SUMATERA & GAJAH KALIMANTAN SAAT INI

Taksonomi dan Status Konservasi

Gajah asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Conservation Union), dengan status terancam punah, sementara itu CITES (Convention on International Trade of Endangered Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan) telah mengkategorikan gajah Asia dalam kelompok Appendix I. di Indonesia sejak tahun 1990.

Di Indonesia, sejak tahun 1931 (Ordunansi Perlindungan Binatang Liar tahun 1931), satwa ini telah dinyatakan sebagai satwa dilindungi undang – undang dan hampir punah sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dan dilestarikan. Penelitian terakhir dengan menggunakan analisis genetika menunjukkan bahwa gajah sumatera (E. maximus sumatranus adalah monophyletic dan dikategorikan sebagai Evolutionary Significant Unit (ESU; Fleischer et al. 2001; Fernando et al. 2004).

Konsekuensi ini menempatkan bahwa gajah sumatera memiliki prioritas yang tinggi dalam konservasi gajah asia. Dengan status ESU dalam kaitan dengan pengelolaan di captivity seperti kebun binatang dan taman safari, maka sub spesies ini harus ditempatkan dan dikelola secara terpisah sehingga terhindar dari terjadinya perkawinan campur dengan sub spesies lain.

Konservasi In-Situ Gajah Sumatera

1.  Status Populasi & Distribusi

Populasi gajah sumatera tersebar di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Sekalipun satwa ini tergolong dalam prioritas konservasi yang tinggi, ternyata sampai dengan saat ini kajian dan analisa distribusi dan populasi kedua satwa ini belum dilakukan secara komprehensif dan menggunakan metode ilmiah yang baku.

Para otoritas pengelola gajah di Indonesia, Departemen Kehutanan, hanya memperkirakan populasi gajah di alam dengan menggunakan metoda ekstrapolasi dari beberapa observasi langsung dan informasi dari para petugas lapangan yang bekerja di Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas Kehutanan.

Pada tahun 1980-an, pernah dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan menggunakan metode penaksiran secara cepat (rapid assessment survey). Hasil survey tersebut memperkirakan populasi gajah sumatera berjumlah 2800-4800 individu dan tersebar di 44 lokasi (Blouch dan Haryanto 1984; Blouch dan Simbolon 1985). Hasil survey ini tidak pernah diperbaharui secara sistematis kecuali di provinsi Lampung yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) pada tahun 2000 (Hedges et al. 2005). Hasil penelitian yang komprehensif di provinsi ini menunjukkan bahwa provinsi Lampung telah kehilangan 9 (sembilan) kantong populasi gajah dari 12 (dua belas) kantong yang ditemukan pada tahun 1980 (Hedges et al. 2005).

Hingga saat ini, hanya ada dua populasi gajah sumatera yang diketahui jumlahnya berdasarkan survei yang sistematis pada tahun 2000 yaitu, populasi gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 498 individu (95% CI=[373,666]) dan Taman Nasional Way Kambas 180 (95% CI=[144,225]) (Hedges et al 2005).

Dalam pertemuan Lokakarya Gajah dan Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati gajah di Indonesia menyadari bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah populasi gajah di Sumatera sangat sukar diperoleh. Oleh karenanya dilakukan estimasi sementara jumlah populasi gajah sumatera berkisar antara 2400.

Apabila diasumsikan perkiraan ini memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan perkiraan yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an maka populasi gajah sumatera telah mengalami penurunan sekitar 35% dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu yang relatif pendek.

Data populasi dan distribusi yang kurang akurat dan sudah terlalu lama akan menyulitkan banyak pihak khususnya para petugas lapangan pengelola Taman Nasional dan juga para pemegang keputusan dalam menentukan dan mengalokasikan kawasan-kawasan yang diperlukan untuk prioritas konservasi gajah dan pembangunan nasional di kedua pulau tersebut.

Beberapa hal yang selama ini dirasakan menjadi faktor pembatas dalam penentuan status populasi dan distribusi adalah tingginya investasi sumberdaya manusia, finansial dan waktu yang dibutuhkan.  Argumentasi ini sebenarnya dapat diatasi dengan cara membangun kolaborasi yang sinergis antara para pihak yang berkepentingan, terutama pihak yang menggunakan lahan hutan untuk sektor pertanian, industri kehutanan, pertambangan, pemerintah pusat dan daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi gajah.

2. Habitat & Tingkah Laku

Gajah sumatera merupakan sub spesies gajah Asia yang umumnya hidup di daerah dataran rendah, dan tinggi di kawasan hutan hujan tropika pulau Sumatera. Satwa ini merupakan spesies yang hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok dan dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan social yang kuat. Studi di India menunjukkan satu populasi gajah dapat terbentuk dari beberapa klan dan memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50-200 individual (Sukumar 1989).

Hingga saat ini diketahui bahwa 85% populasi gajah di Sumatera berada diluar kawasan konservasi. Kondisi ini menyulitkan para pengelola untuk melakukan manajemen konservasi gajah karena adanya tumpang tindih kegiatan dan perbedaan usulan alokasi peruntukan lahan dari pihak-pihak lain.

Kelompok gajah bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain, dan memiliki daerah jelajah (home range) yang terdeterminasi mengikuti ketersediaan makanan tempat berlindung dan berkembang biak. Luasan daerah jelajah akan sangat bervariasi tergantung dari ketiga factor tersebut. Belum pernah ada penelitian yang komprehensif tentang luasan daerah jelajah untuk gajah sumatera dan kalimantan, namun pada sub spesies gajah asia lainnya seperti di India diketahui bahwa daerah jelajah gajah asia sangat bervariasi. Di India Selatan diketahui bahwa kelompok betina dapat memiliki daerah jelajah 600 km2 dan kelompok jantan 350 km2 (Baskaran et al. 1995). Studi lainnya yang juga dilakukan di India Selatan memperkirakan daerah jelajah gajah berkisar antara 105 – 320 km2 (Sukumar 1989). Di India Utara diketahui daerah jelajah kelompok betina antara 184 –  320 km2 dan kelompok jantan 188 – 408 km2 (Williams et al. 2001).

Untuk mengetahui kondisi habitat yang ideal bagi gajah sumatera dan kalimantan diperlukan pengetahuan tentang perilaku sosial, pola pergerakan dan kebutuhan ekologinya. Pergerakan musiman gajah adalah merupakan daerah jelajah yang rutin dan daerah jelajah suatu kelompok gajah dapat tumpang tindih dengan daerah jelajah kelompok lainnya. Untuk mengetahui kebutuhan spasial suatu kelompok gajah diperlukan informasi yang akurat tentang daerah jelajah kelompok gajah dan juga pergerakan musimannya. Gajah jantan dapat hidup secara sendiri (soliter) atau bergabung dengan jantan lainnya membentuk kelompok jantan. Kelompok jantan memiliki daerah jelajah yang tumpang tindih atau bersinggungan dengan daerah jelajah kelompok betina atau jantan lainnya.

Usia aktif bereproduksi pada gajah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, ketersediaan sumber dayapakan dan faktor ekologinya (misalnya kepadatan  populasi). Gajah siap bereproduksi pada usia antara 10 -12 tahun (McKay 1973; Sukumar 1989; Ishwaran 1993). Masa kehamilan berkisar antara 18 – 23 bulan dengan rata-rata sekitar 21 bulan dan jarak antar kehamilan betina sekitar 4 tahun (Sukumar 2003). Dari data ini dapat diperkirakan apabila usia maksimal gajah betina sekitar 60 tahun, maka semasa hidupnya akan bereproduksi maksimal sekitar 7-8 kali.

Kemampuan gajah bereproduksi secar alami yang rendah dikombinasikan dengan kebutuhan akan habitat yang luas dan kompak (contiguous) membuat mereka sangat rentan terhadap kepunahan.  Oleh karena itu, upaya konservasi gajah di alam selain harus memperhatikan keutuhan dan integritas habitat juga harus memperhatikan aspek dinamika populasinya.

Konservasi Ex-Situ Gajah Sumatera

  1. Sejarah Pengelolaan

Gajah captive memiliki sejarah yang panjang dan merupakan suatu permasalahan yang penting bagi konservasi gajah di Indonesia. Gajah captive di Indonesia mulai dikelola pada tahun 1980-an, pada saat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melakukan penangkapan gajah liar untuk mengurangi konflik gajah-manusia.

Konsep pengelolaan gajah oleh pemerintah Indonesia pada saat itu adalah Tiga Liman yaitu terdiri dari: Bina Liman, Tata Liman dan Guna Liman. Pada periode tahun 1986 hingga 1995, lebih kurang 520 ekor gajah telah ditangkap untuk mengatasi konflik manusia dan gajah. Gajah yang ditangkap ditempatkan di enam (6) Pusat Latihan Gajah (PLG) di Sumatera. Pengelolaan gajah dengan konsep tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena dianggap tidak berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di habitat aslinya. Selain itu, konsep Tiga Liman juga mengakibatkan terjadinya penumpukan gajah di PLG yang konsekuensinya mengakibatkan pengelolaan PLG membutuhkan dana yang sangat besar.

Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan pengelolaan gajah captive dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan konflik.

2. Pengelolaan gajah captive (ex-situ)

Pengelolaan gajah captive di Indonesia sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Namun demikian pemerintah juga melakukan kerjasama dengan lembaga konservasi dari dalam dan luar negeri untuk memperbaiki manajemen yang sudah ada. Beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam pengelolalaan gajah jinak di Indonesia adalah:

  1. Mitigasi konflik gajah-manusia.gajah captive digunakan untuk menangani konflik gajah-manusia di daerah daerah yang sering mengalami konflik. Gajah jinak digunakan untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya.
  2. Registrasi. Kegiatan registrasi gajah captive dengan menggunakan microchip. Hingga saat ini telah dilakukan proses registrasi telah dilakukan disebagian besar populasi gajah captive di Sumatera. Diperkirakan sekitar 174 ekor (36%) dari seluruh gajah yang ada di PLG sudah diregistrasi.
  3. Penelitian ekologi. Kegiatan penelitian ekologi gajah telah dilakukan untuk mengetahui jenis pakan gajah di alam serta untuk mengetahui hubungan kandungan nutris pakan dan perilaku pakan
  4. Kegiatan konservasi. Gajah captive telah digunakan untuk berbagai kegiatan konservasi termasuk patroli, perlindungan habitat, monitoring dan survey satwa liar lain
  5. Pendidikan konservasi. Gajah captive merupakan alat penting yang digunakan untuk menyampaikan pesan konservasi.
  6. Ekoturisme. Kegiatan ekoturisme adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan di hamper semua PKG dan diharapkan dapat membantu pengelolaan PKG secara mandiri.

Ancaman Terhadap Kelestarian Gajah Sumatera

Kehilangan habitat, fragmentasi habitat serta menurunnya kualitas habitat gajah karena konversi hutan atau pemanfaatan sumberdaya hutan untuk keperluan pembangunan non kehutanan maupun industri kehutanan merupakan ancaman serius terhadap kehidupan gajah dan ekosistemnya.

Ancaman lain yang tidak kalah serius adalah konflik berkepanjangan dengan pembangunan dan perburuan ilegal gading gajah.

1. Ancaman Terhadap Habitat

  1. a. Kehilangan Habitat

Tingginya kerusakan hutan di Indonesia (khususnya di Sumatera) mengakibatkan hilangnya sebagian besar hutan dataran rendah yang juga merupakan habitat potensial bagi gajah. Diperkirakan laju kerusakan hutan pada tahun 1985 hingga 1997 sebesar 1 juta hektar dan meningkat hingga 1.7 juta hektar pada akhir 1980 -an (Holmes 2001).

Apabila kita anggap laju kerusakan hutan konstan maka pada periode tahun 1997-2001, Indonesia telah kehilangan sekitar 5 juta hektar hutan (Whitten et al. 2001). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, deforestasi sebagian besar terjadi akibat konversi untuk kegiatan pembangunan non kehutanan seperti perkebunan, infrastuktur, pembangunan pemukiman baru, serta pembangunan industri kehutanan yang tidak dapat dihindari.

  1. b. Fragmentasi Habitat

Pembangunan seringkali sulit menyelaraskan atau menghindari benturan dengan kegiatan pelestarian alam atau konservasi sumber daya alam hayati. Pembangunan infrastruktur misalnya sering membelah ekosistem dan habitat gajah yang menghendaki luasan yang besar dan kompak. Di beberapa daerah, pembangunan bahkan tidak sesuai atau mendahului tata ruang daerah tersebut sehingga merusak daerah-daerah perlindungan alam.

Bagi satwa liar seperti gajah yang mengendaki habitat dan areal jelajah yang luas, fragmentasi habitat akan menyebabkan pengurangan ruang gerak sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup dari sisi ekologisnya sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik antara satwa tersebut dengan kegiatan pembangunan di sekitar habitatnya. Konflik dapat berakhir dengan korban di kedua belah pihak tetapi umumnya korban kematian gajah akibat konflik lebih banyak terjadi.

  1. c. Degradasi Habitat

Degradasi habitat juga merupakan ancaman utama bagi habitat gajah. Kebakaran hutan, kemarau panjang yang mengakibatkan berkurangnya sumber air , penggembalan hewan ternak yang berlebihan, penebangan hutan baik legal maupun ilegal dapat mengurangi sumber daya pakan gajah di habitat aslinya secara signifikan.

Degradasi habitat juga dapat terjadi karena aktivitas manusia yang megintroduksi spesies eksotik yang dapat berdampak negatif terhadap komposisi vegetasi (misalnya: Acacia nilotica).

2.  Konflik Antara Manusia dan Gajah (KMG)

Konflik manusia dan gajah (KMG) merupakan masalah yang signifikan dan ancaman yangserius bagi konservasi gajah sumatera. Akibat konflik dengan manusia, gajah mati diracun, ditangkap dan dipindahkan ke Pusat Konservasi Gajah (PKG) yang mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal (misalnya di provinsi Riau). Di sisi lain, KMG juga mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi manusia. Kerusakan tanaman, terbunuhnya manusia dan kerusakan harta benda sering terjadi akibat konflik dengan gajah. Dari ketiga jenis KMG tersebut yang paling sering terjadi adalah kerusakan tanaman (crop raiding) oleh gajah. Secara garis besar kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kerusakan tanaman yang terjadi akibat gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh gajah yang keluar dari habitatnya akibat kerusakan habitat, fragmentasi habitat ataupun degradasi habitat yang parah (obligate raiding).

Kerusakan tanaman oleh gajah juga diduga oleh tingginya tingkat kesukaan (palatability) gajah terhadap jenis tanaman yang ditanam oleh petani (Sukumar 2003). Beberapa jenis tanaman yang sering mengalami gangguan gajah adalah padi, jagung, pisang, singkong, dan kelapa sawit (Sitompul 2004; Fadhli 2004). Nilai kerusakan ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah terlihat bervariasi di setiap daerah. Hasil penelitian WCS di Lampung pada tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah sangat tidak signifikan (< 10% dari hasil panen per desa), namun kerugian ini sangat signifikan apabila harus ditanggung per individu petani (Sitompul 2004).

Untuk dapat menyelesaikan KMG perlu pendekatan dari berbagai dimensi (multi-dimension approach) dan dilakukan dengan sinergi oleh berbagai pemangku kepentingan (multi stakeholder apporach). Pendekatan dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial harus disinergikan sehingga upaya mitigasi konflik dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan. Koordinasi antar sektor perlu segera dilaksanakan sehingga reaksi tanggap terhadap konflik dapat dilakukan dengan cepat.

  1. 3. Perburuan Ilegal Gading Gajah

Konflik gajah dan manusia, tingkat kemiskinan penduduk di sekitar habitat gajah dan permintaan pasar illegal gading gajah secara komersial menjadi pendorong utama dalam terjadinya pemburuan gading gajah secara illegal. Aktifitas ini dirasakan semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama di Sumatera. Namun demikian hingga saat ini belum ada data akurat yang menjelaskan tingkat ancaman perburuan bagi gajah Sumatera dan Kalimantan Selain itu monitoring dan analisis modeling akan dampak perburuan terhadap populasi gajah sangat jarang dilakukan.

Kekhawatiran akan meningkatnya tingkat perburuan dan perdagangan ilegal gading gajah ternyata juga dirasakan oleh negara-negara lain yang memilki populasi gajah yang cukup besar di Asia (misalnya India, Sri Lanka dan Thailand). Kekhawatiran ini muncul setelah CITES membuka perdagangan gading untuk empat (4) negara di Afrika bagian selatan (Afrika Selatan, Botswana, Namibia dan Zimbabwe). Dengan dibukanya perdagangan gading secara legal untuk negara-negara di Afrika tesebut maka dapat mendorong masuknya gading gajah Asia secara ilegal di pasar gelap. Hal ini sangat mungkin terjadi karena perbedaan gading gajah Asia dan Afrika sangat sulit dideteksi perbedaannya.

Contoh kasus yang terjadi di sekitar TN Bukit Barisan Selatan, terdapat 12 pemburu dan cukong gading yang telah menjual 1.260 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah gading ini setara dengan membunuh 47 ekor gajah. Di Way Kambas, terdapat 19 orang pemburu, cukong, dan pengrajin gading yang mampu menjual 1.785 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah ini setara dengan membunuh 52 ekor gajah. Perburuan gajah itu sendiri dilakukan di wilayah Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Riau (Adhiasto 2007).

Hasil survei Wildlife Crime Unit (WCU) terhadap para pemelihara satwa dilindungi dan pemilik bagian-bagian tubuh satwa dilindungi di Provinsi Lampung, menyimpulkan bahwa harimau sumatera dan gading gajah sumatera adalah bagian satwa dilindungi yang paling banyak dimiliki oleh responden. Hal tersebut menunjukkan bahwa perburuan harimau sumatera dan gajah sumatera lebih tinggi daripada satwa lainnya.

C.  KONDISI YANG DIHARAPKAN, REKOMENDASI DAN RENCANA AKSI

  1. 1. Strategis dan Rencana Aksi dalam Pengelolaan Populasi dan Distribusi Gajah Kondisi yang diharapkan:

Pengetahuan tentang status populasi dan distribusi sangat diperlukan dalam menentukan kebijakan dan perencanaan konservasi serta mengoptimalkan intervensi manajemen konservasi. Lengkap dan akuratnya data populasi gajah di akan membantu intervensi manajemen konservasi secara optimal. Pada tahun 2011 diharapkan jumlah seluruh populasi gajah yang ada di Sumatera telah diketahui dan diestimasi dengan menggunakan metode yang dapat dijustifikasi secara ilmiah. Selain itu diharapkan distribusi gajah di Sumatera dan Kalimantan dapat dipetakan dengan akurat dan dijadikan bahan pertimbangan dan acuan penting oleh para pemangku kepentingan untuk memperhatikan agenda konservasi gajah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.

Populasi dan distribusi gajah dapat diketahui dan diakses oleh pengelola konservasi, para aktor pembangunan, politikus dan para ilmuwan yang peduli gajah pada setiap saat diperlukan. Para politikus dan agen pembangunan di Sumatera perlu mengetahui distribusi gajah sehingga dalam merencanakan pembangunannya dapat menghindari atau meminimalisir konflik dengan keperluan lahan dengan habitat gajah. Di sisi lain pengelola konservasi dan ilmuwan gajah sangat memerlukan data tersebut untuk memberi saran dan rekomendasi apabila terjadi masalah yang harus diputuskan dalam mengatasi konflik antara gajah dengan pembangunan

Rekomendasi:

Hal penting yang dilakukan dalam pengaktualisasian status populasi dan distribusi gajah Sumatra dan Kalimantan adalah:

  1. a. Melakukan survei dan monitoring jumlah,distribusi, keragaman genetis populasi gajah yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan dengan menggunakan metode yang standard dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah misalnya dengan metode Dung Count (Barnes & Jensen 1987; McClanahan 1986; Barnes 1993 dan Hedges & Tyson 2002), Fecal DNA capture-recapture (Eggert et al. 2003), dan Patch Occupancy (MacKenzie et al. 2002, 2003 ; MacKenzie and Royle 2005).
  2. b. Membentuk database yang standar dan digabungkan dengan sistem informasi geografis (Geographic Information System) untuk melihat perubahan distribusi dalam rentang waktu tertentu.
  3. c. Melakukan pengaktualisasian data dengan melaksanakan monitoring secara sistematis pada kantong –kantong populasi gajah.
  4. d. Menunjuk instansi tertentu pada tingkat nasional dan regional yang akan mengelola database gajah sumatera dan gajah kalimantan yang didukung oleh sumber daya dan tenaga ahli dari berbagai pihak yang peduli tentang gajah
  5. e. Mempertahankan jumlah populasi gajah yang lestari (viable) dan mengupayakan ketersambungan (connectivity) suatu populasi dengan populasi lainnya.
  6. f. Melakukan intervensi manajemen konservasi terhadap populasi gajah yang dinilai tidak lestari (viable) sehingga populasi gajah tersebut dapat pulih kembali. Intervensi manajemen dapat dilakukan dengan mengatur keseimbangan jumlah populasi, rasio seks dan keragaman genetik

2. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah dalam Pengelolaan Habita Gajah Kondisi yang diharapkan:

Dalam pengelolaan habitat gajah di alam diperlukan kolaborasi antar pemangku kepentingan secara terpadu. Aktivitas pembangunan di kawasan yang merupakan habitat gajah harus dikelola dengan mengedepankan aspek konservasi. Pendekatan baru yang lebih berpihak kepada konsep pembangunan lestari dan konservasi gajah di alam harus dapat disosialisasikan dan diterima oleh para pemangku kepentingan kunci. Hal penting lainnya adalah pengelolaan habitat harus dilakukan dengan pendekatan lansekap dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi politik dan status kawasan. Koordinasi antar instansi harus ditingkatkan dan memegang peranan penting dalam pengelolaan habitat gajah.

Rekomendasi:

  1. a. Hal utama yang perlu dilakukan segera untuk melindungi dan menyelamatkan habitat gajah di Sumatera dan Kalimantan Timur adalah:
  2. b. Memahami, memonitor dan mempublikasikan kondisi seluruh habitat gajah, serta daerah jelajahnya sehingga dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas dan aktor pembangunan untuk menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan konflik dengan gajah
  3. c. Meminimalisasi kehilangan habitat dengan menghindari kegiatan pembangunan di sekitar dan di dalam kawasan yang diketahui memiliki populasi gajah dan atau merupakan daerah jelajah gajah.
  4. d. Membangun koridor-koridor pada habitat gajah yang terputus akibat aktivitas pembangunan. Perlu dilakukan pengintegrasian habitat dan daerah jelajah dalam tata ruang, perencanaan pembangunan dan pengelolaan konsesi.
  5. e. Mengembangkan konsep “Managed Elephant Range” dengan melakukan pengelolaan habitat oleh multi pemangku kepentingan secara terpadu terutama di luar kawasan konservasi (areal HPH, HTI, Perkebunan, Pertambangan dan lahan masyarakat).
  6. f. Melaksanakan program restorasi dan rehabilitasi habitat gajah untuk meningkatkan daya dukung habitat. Melaksanakan studi intensif pada ekologi pakan (dietary ecology), pola pergerakan (movement) dan penggunaan habitat (habitat use) untuk mengoptimalkan intervensi manajemen konservasi gajah
  7. g. Mensinergikan habitat dan koridor gajah dalam program tata ruang dan pembangunan nasional, provinsi serta kabupaten/kota di Sumatera dan Kalimantan.
  1. 3. Strategi dan Rencana Aksi dalam Mengatasi Konflik Manusia dan Gajah Kondisi yang diharapkan:

KMG merupakan suatu fenomena yang akhir-akhir ini diketahui semua pihak sebagai suatu masalah kompleks di Sumatera. Konflik sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat mengancam kedua belah pihak terutama kelestarian gajah. Tingginya permintaan lahan untuk tujuan pembangunan di kedua daerah tersebut mendorong timbulnya konflik antara manusia dan gajah semakin besar dan rumit diselesaikan dengan tuntas dan waktu yang pendek. Berbagai upaya mitigasi konflik telah dilakukan, tetapi sejauh ini dirasakan belum membuahkan hasil yang maksimal. Kesulitan tersebut sudah sangat dirasakan dan menjadi beban yang berkepanjangan bagi otoritas pengelola gajah dalam hal ini Direktorat Jenderal PHKA dan pemerintah kabupaten serta para pemukim yang terlibat konflik.

Pada prinsipnya semua pihak berharap agar populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan dapat hidup berdampingan dengan manusia dan juga dengan aktivitas pembangunan. Untuk itu harus ada upaya yang lebih pragmatis dalam menghindari konflik antara kedua pihak. Agen pembangunan, para pemegang keputusan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten serta para pihak yang terkait dan peduli terhadap konflik semestinya dapat bekerjasama secara terbuka dalam menghindari dan mengatasi konflik manusia dan gajah. Perencanaan pembangunan yang memperhatikan aspek kelestarian keanekaragaman hayati prinsipnya dapat menghindari atau mengurangi terjadinya konflik antara manusia dengan hidupan liar seperti populasi gajah liar.

Rekomendasi:

Upaya mengatasi KMG dalam jangka pendek dan jangka panjang harus dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Penyelesaian KMG sedapat mungkin harus melibatkan semua pihak terkait secara terbuka dan partisipatif. Untuk itu beberapa prioritas yang direkomendasikan untuk mengatasi KMG adalah sbb:

  1. Membentuk jaringan kordinasi penanganan KMG pada tingkat nasional yang akan merumuskan kebijakan KMG dan provinsi serta kabupaten yang bersifat operasional. Jaringan ini dapat di bantu oleh para pihak dari unsure non pemerintah yang berfungsi sebagai penasehat teknis.
  2. Menghentikan pembangunan yang tidak terencana dan dapat mengakibatkan kerusakan habitat, fragmentasi habitat dan degradasi habitat populasi gajah
  3. Mendorong pelaksanaan pembangunan yang mengikuti kaidah-kaidah perencanaan yang berpihak pada pelestarian lingkungan serta hidupan liar seperti populasi gajah sumatera
  4. Menetapkan protokol nasional penyelesaian KMG dan meminta agar semua pihak yang terlibat dalam KMG mengikuti aturan yang tertuang dalam protokol tersebut.
  5. Secara bertahap membentuk tim penyelamatan gajah yang terkena korban KMG, dengan di dukung oleh sumberdaya profesional dan peralatan memadai serta dana yang cukup.
  6. Melakukan studi dan penelitian secara regular tentang opsi-opsi penyelesaian KMG yang efisien dengan teknologi yang sederhana serta metode adaptif.
  7. Khusus untuk penanganan KMG di Kalimantan Timur, karena bersifat trans-nasional perlu dilakukan kerjasama yang menyeluruh dengan pemerintah Kerajaan Malaysia terutama Pemerintah Sabah.
  1. 4. Strategidan Rencana Aksi dalam Mengatasi Perburuan dan Perdagangan Ilegal

Kondisi yang diharapkan:

Perburuan dan perdagangan illegal gading gajah merupakan ancaman serius terhadap kelestarian populasi gajah sumatera dan kalimantan. Resiko kepunahan lokal akibat perburuan dan perdagangan illegal perlu diwaspadai dengan segera. Perburuan yang terjadi di Sumatera diduga juga disebabkan oleh karena semakin tingginya permintaan gading gajah secara illegal di tingkat internasional. (Dublin et al. 2006).

Sistem monitoring yang rutin seperti yang diterapkan dengan MIKE (Monitoring Illegal Killing of Elephant) oleh CITES perlu segera diimplemetasikan. Dalam kaitan ini pemerintah dan para pemerhati gajah Sumatera dan Kalimantan berharap agar penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan illegal gading Gajah asal Sumatera dan Kalimantan dapat dilaksanakan secara konsisten,  onsekuen dan benar serta tidak berpihak.

Rekomendasi:

Beberapa hal penting yang harus diterapkan dalam rencana strategi aksi dalam mengatasi perburuan dan perdagangan illegal gajah, adalah:

  1. a. Melakukan monitoring perburuan gajah secara intensif di Sumatera dan KalimantanMeregistrasi gajah captive dan stockpiles gading gajah yang di lembaga  konservasi pemerintah dan swasta untuk menghindari perdagangan illegal gajah dan gading gajah
  2. b. Memperbaiki sistem penegakan hukum, penerapan sanksi yang jelas dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum.
  3. c. Mensosialisasikan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta membentuk koordinasi lintas sektoral untuk mengeffektifkan proses penegakan hukum
  4. d. Melakukan kampanye penyadartahuan dan konservasi gajah sumatera dan kalimantan secara regular kepada semua lapisan masyarakat
  5. e. Menetapkan peraturan-peraturan daerah yang mendukung konservasi gajah
  1. 5. Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Gajah Captive (Ex-Situ) Kondisi yang diharapkan:

Gajah captive memiliki peran yang sangat potensial dalam upaya konservasi gajah di Indonesia Sebagaimana disebutkan terdahulu gajah captive adalah merupakan gajah yang ditangkap akibat konflik dengan pemukiman, perkebunan dan kegiatan pembangunan lainnya. Hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara konservasi gajah ex-situ dan in situ membuat upaya konservasi keduanya harus berjalan secara simultan dan saling mendukung.

Rekomendasi:

  1. Beberapa hal yang dirasakan sangat penting dilaksanakan dalam rencana strategis dan aksi pengelolaan gajah captive (ex-situ) adalah:
  2. Membuat manual konservasi gajah captive dan pengelolaan PKG. Manual konservasi gajah captive berfungsi sebagai panduan dan protokol pengelolaan gajah captive secara rinci.
  3. Meneruskan program registrasi dengan menggunakan microchip hingga semua gajah captive teregistrasi dengan baik.
  4. Menentukan arah program pengembangan gajah captive dengan jelas sehingga pengelolaannya dapat dilakukan dengan maksimal bersinergi terhadap kebutuhan yang berkelanjutan dengan kestabilankeragaman genetik gajah (breeding center program) dan pemanfaatannya terhadap kegiatan konservasi penanganan konflik gajah manusia, patroli pengamanan habitat, ekoturisme, penelitian dan pendidikan.
  5. Merasionalisasi populasi gajah dalam setiap PKG dan intitusi lain yang memanfaatkan gajah khususnya dengan kondisi daya dukung PKG itu sendiri (seperti: ketersedian pakan alami, sumber air dan luas wilayah) sesuai dengan arah pemanfaatan gajah yang bersinergi dengan program pengembangbiakan  Mengembangkan fasilitas infrastruktur PKG, pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan mahout khususnya dalam mengembangkan kapasitas mahout dalam pemahaman tingkah laku dan biologi gajah, keterampilan di bidang konservasi, pelatihan dan pengendalian gajah, perawatan dan dukungan medis, serta pemanfaatan gajah dalam konteks konservasi, ekowisata, dan pendidikan
  6. Membuka kesempatan pihak ketiga untuk dapat memanfaatkan gajah secara lestari, serta mendorong kontribusi pengguna gajah captive untuk kepentingan komersil agar dapat memberikan kontribusinya secara nyata bagi kegiatan konservasi gajah in-situ dan ex-situ.
  7. Membangun strategi pendanaan melalui promosi terhadap pihak ketiga (Perkebunan; HTI; Kebun Binatang; Lembaga Konservasi Lainnya) untuk membantu dalam pengelolaan dan pemeliharaan gajah PKG.

  1. 6. Strategi dan Rencana Aksi untuk Meningkatkan Dukungan dari Berbagai Pihak Kondisi yang diharapkan:

Upaya pelestarian gajah sumatera dan kalimantan merupakan pekerjaan yang kompleks dan memerlukan dukungan yang luas dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena gajah memerlukan habitat yang luas untuk dapat bertahan hidup sementara itu kebutuhan habitat yang luas tersebut sering kali berbenturan dengan kegiatan alokasi lahan untuk kegiatan pembangunan. Untuk mengupayakan keberhasilan pelestarian gajah dan habitatnya, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan dan memegang peranan penting dalam strategi konservasi.

Rekomendasi:

Beberapa langkah strategis untuk mendapatkan dukungan yang luas bagi konservasi gajah sumatera dan Kalimantan adalah:

  1. Melibatkan unsur pemerintah daerah dan sektor swasta dalam pengorganisasian kegiatan konservasi gajah dan program mitigasi konflik manusia dan gajah Mengembangkan program kampanye yang efektif secara nasional dengan kelompok target yaitu pemerintah daerah dan sektor swasta Perlunya dilakukan survei tingkat dukungan masyarakat (attitude survey) terhadap konservasi gajah sebagai data dasar untuk memantau tingkat keberhasilan kampanye konservasi gajah secara nasional dan lokal. Mengupayakan diterbitkannya Keputusan Presiden yang mendukung upaya pelestarian gajah sumatera dan kalimantan.
  2. Memasukkan materi konservasi gajah dalam program pendidikan jenjang karier di pemerintahan.
  3. Mengembangkan web-site konservasi gajah Indonesia

SUMBER:

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam – Departemen Kehutanan RI. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007 – 2017. Jakarta.

ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK (APK)

ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK (APK)

Oleh : Wahid Hamdan

A.  Pengantar

Konflik merupakan pertentangan antar banyak kepentingan, yang keberadaannya sejak kehidupan ada. Konflik dapat berdampak positif jika konflik dapat membantu mengidentifikasi masalah, mempertajam gagasan, menjelaskan kesalahahaman, serta mempertanyakan situasi status quo.  Konflik akan berdampak buruk jika konflik menyebabkan semakin meluasnya hamabatanhambatan untuk saling kerjasama antar berbagai pihak ( Johnsojn dan Duinker, 1993).

Alternatif penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga dihindari penyelesaian konflik melalui meja hijau. Beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik yaitu : a).  lebh menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi awar-menawar. b). berfikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian. c). Mencari jalan tengah untuk menemukan tujuan bersama. d). menuntut kesepakaan banyak pihak untuk suatu keputusan.

B.  Berbagai Pendekatan Penyelesaian Konflik/Sengketa

  1. Pendekatan politis

Pendekatan ini dilakukan oleh politisi dan pengambil keputusan yang melihat berbagai nilai dan kepentingan yang berbeda.  Dalam pendekatan ini ada kalanya para politisi dan pengambil keputusan tidak menguasai berbagai aspek persoalan, seingga dibutuhkan para pakar atau sering disebut ara ahli untuk membantu dalam pengambilan keputusan.

  1. Pendekatan Administrasi.

Para birokrat menjadi keniscayaan dalam keterlibatan penyelesaian konflik melalui pendekatan administrasi yang mengunakan jalur-jalur birokrasi. Sehingga pengambilan keputusan dalam penyelesaian konflik cenderung birokratis dan struktural.

  1. Pendekatan Yuridis/hukum

Dalam pendekatan yuridis/hukum, penyelesaian konflik dilakukan dalam proses-proses peradilan.  Pendekatan ini dilakukan apabila yang bersengketa sudah sangat sulit untuk menempuh jalan damai bahkan untuk melakukan dialog.  Pendekatan hokum bekerja berdasarkan logika dan prosedur hokum yang akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan pada proses pendekatan hokum ini antara lain:

  1. Prosesnya relative membutuhkan waktu yang cukup lama
  2. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
  3. Bersifat adversial ( pihak-pihak yang bersengketa tidak dapat bekerja sama, justeru cenderung saling memperkuat dan salin menjatuhkan satu sama lain).
  1. Alternatif penyelesaian konflik (APK)

Pendekatan ini muncul sebagai jawaban atas berbagai ketiakpuasan pendekatan hukum dalam penyelesaian sengketa. Selain itu pendekatan APK ini merupakan jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat. Ada beberapa karakteristik utama pendekatan APk in yaitu :

  1. Menekankan pada kepentingan dan kebutuhan, bukan pada posisi dan fakta
  2. Lebih bersifat persuasif dariapada pertentangan
  3. Komitmen pada kesepakatan bersama daripada penyelesaian sengketa
  4. Komunikasi yang konstruktif untuk mengembangkan pemahaman bersama, daripada kritik-kritik negative serta memperkuat argument masing-masing pihak
  5. Tercapainya penyelesaian konflik yang berjangika panjang, karena masing-masing pihak mempunyai komitmen bersama
  6. Penggunaan dan tukar-menukar informasi yang konstruktif
  7. Fleksibilitas tinggi

C.  Jenis Alternatif Penyelesaian Konflik

Ada bebrapa jenis alternative penyelesaian konflik yaitu :

  1. Konsultasi publik

Gagasan awal tentang konsultasi public ini adalah untuk salin memberi informasi, meyakinkan bahwa semua pandangan dikemukakan, membuka proses manajemen, sehingga dapat brlangsung efesien dan adil, serta untuk meyakinkan bahwa semua piak mendapatkan kepuasan yang sama.

  1. Negosiasi

Negosiasi melibatkan situasi dimana dua atau lebih kelompok bertemu secara sukarela dalam usaha mencari isu-isu yang menyebabkan konflik yang terjadi.  Tujuan dari negosiasi ini adalah meraih ksepakatan yang saling diterima oleh semua pihak secara knsensus.  Dalam negosiasi ini tidak melibatkan pihak uar, serta pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk bertemu dan membicarakan sengketa secara bersama.

  1. Mediasi

Mediasi memiliki karakterisitik khusus dari negosiasi, karena melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai mediator, dan pihak yang ketiga tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan kesepakatan, karena berfungsi sebagai fasilitator saja.

  1. Abitrasi

Abitrasi adalah salah satu alternative penyelesaian konflik dengan melibatkamn pihak ketiga, dan pihak ketiga atau arbitrator memiliki hak untuk mengambil keputusan yang mengikat mauoun yang tidak mengikat.

Ada beberapa hal yang menjadi penentu agar APK apat berjalan dengan baik diantaranya yaitu :

  1. pihak-pihak yang terlibat konflik berada pada posisi terbaik untuk mengidentifikasi isu-isu ytang menyebabkan konflik.
  2. Diskusi tatap muka langsung dapat berjalan produktif
  3. Komitmen sukarela muncukl untuk penyelesaian bersama.
  4. Keinginan sesungguhnya dapat mengemuka untuk mencapai konsesus dan perjanjian yang saling menguntungkan.

Sumber Bacaan

Mithchell B, B. Setiawan, Rahmi, DH. 2000.  Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!